JAKARTA – Aksi mogok makan para pekerja rumah tangga (PRT) di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu (16/8/2023), dibubarkan paksa polisi. Polisi juga melakukan pemukulan terhadap peserta aksi saat pembubaran paksa tersebut.

Dikutip dari Tempo.co, Kepala Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini, termasuk menjadi korban pemukulan oleh polisi.

Dari keterangan tertulis Massa Aksi Mogok Makan PRT, alasan polisi membubarkan massa karena menganggap mereka mengganggu arus lalu lintas.

"Padahal aksi 16 Agustus hari ini dilakukan sebagai bagian ekspresi PRT untuk menyampaikan tuntutannya jelang Hari Kemerdekaan," kata Aktivis Perempuan Mahardhika, Tyas Widuri, Rabu (16/8/2023).

Tyas menyebutkan, aksi dari Koalisi Aksi Mogok Makan PRT ini sudah memberikan surat pemberitahuan ke polisi sejak awal Agustus. Namun tiba-tiba, kata Tyas, polisi melarang aksi dan membubarkannya sekaligus melakukan kekerasan.

"Polisi membubarkan aksi dengan paksa, memukul kepala dan menyuruh kita berhenti aksi begitu saja," kata Tyas.

Koordinator Jala PRT Lita Anggraini menyatakan, para polisi tak membela wong cilik yang sedang berjuang. Padahal, kata Lita, seharusnya aksi yang dilajukan PRT ini merupakan bagian dari ekspresi Hari Kemerdekaan.

"Padahal polisi lahir dari rahim perempuan, tapi polisi membubarkan aksi," ujar Lita.

Menurut dia, aksi yang mereka lakukan di depan gedung DPR adalah momen penting. Pasalnya, kata Lita, Presiden sedang menyampaikan pidato kenegaraan di Gedung DPR.

"Momen hari ini sangat penting bagi PRT karena mau menyampaikan permintaan kepada presiden untuk mendesak DPR agar mengesahkan RUU Perlindungan PRT," kata Lita.

Aksi mogok makan PRT dilakukan di Jakarta dan di lima kota lainnya dari 14 Agustus 2023 sampai RUU PPRT disahkan. Dua hari sebelumnya, pembubaran Massa Aksi Mogok Makan PRT juga dilakukan pihak kepolisian.

Saat melakukan aksi, Massa Aksi Mogok Makan PRT didatangi beberapa pihak dan menanyakan mengenai kelengkapan berkas aksi mogok makan tersebut. Bahkan menurut keterangan massa aksi ada upaya pengrusakan fasilitas seperti merobohkan tenda karena dianggap merusak estetika.

“Speaker, toa, spanduk, poster, tenda terbuka, selebaran, dan perlengkapan medis (sudah terdaftar),” ucap salah satu tim legal dari aliansi tersebut.***