CUACA pagi itu, Selasa (30/9), terlihat bersahabat di Pangkalan Kerinci. Tidak begitu panas dan tidak juga ada tanda-tanda hujan mau turun. Perjalanan menuju salah satu pusat latihan gajah atau yang dikenal dengan nama Elephant Flying Squad (EFS) di salah satu Estate atau perkebunan perusahaan penghasil bubur kertas dan kertas terbesar ke-2 di Asia ini, ditempuh selama kurang lebih 2 jam dari Ibu Kota Kabupaten Pelalawan, melewati jalan akses (koridor) PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Tepat jam 10.30 WIB, tim akhirnya sampai di Estate Ukui, RAPP, yang terletak di Desa Lubuk Kembang Bungo, Kecamatan Ukui, Pelalawan.

Disambut langsung oleh Ukui Estate Manager RAPP, Efendi Sitorus, tim disuguhkan sekilas pandang mengenai program EFS yang dimulai tahun 2005 itu, sebagai usaha Stakeholders untuk meningkatkan kesadaran publik dan memitigasi konflik antara manusia dengan gajah, terutama di sekitar Taman Nasional Teso Nilo (TNTN). Hal ini sejalan dengan ditunjuknya Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.54/Menhut-II/2006 tentang Penetapan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan peraturan perubahannya P.73/Menhut-II/2006. Atas surat keputusan Menhut tersebut, semakin menguatkan komitmen RAPP dalam upaya melindungi satwa gajah Sumatera yang dilindungi ini.

“Kita saat ini memiliki enam ekor gajah terlatih dalam EFS yang fokus menangani konflik antara gajah liar dan manusia. Tugasnya yaitu melakukan patroli guna memitigasi konflik, mendata gajah liar, sosialisasi perlindungan satwa liar kepada masyarakat, dan mencegah aktifitas perburuan satwa liar.” Ungkap Effendi.

Usai mendengarkan paparan dan diskusi mengenai program tersebut, tim kemudian diajak berkunjung ke markas EFS yang berjarak sekitar 8 km dari Kantor Estate Ukui. Melewati jalan koridor (sirtu) yang terawat dikelilingi berbagai jenis tanaman seperti, Akasia, Sawit, Karet dan Hutan Alam yang rimbun, tim juga melihat adanya satu titik yang ditandai sebagai jalur perlintasan harimau. Ditandainya titik tersebut karena berdasarkan adanya temuan jejak-jejak spesies kucing terbesar itu di sekitar hutan alam. Ini menunjukkan keanekaragaman hayati di sekitar hutan tanaman dan konservasi RAPP masih terjaga dengan baik.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/02102014/img_1116jp-1438.jpgSesampainya di markas gajah binaan tersebut, tim merasa sangat takjub melihat secara langsung hewan bongsor berbelalai ini. Seolah menyambut kedatangan tamu dari jauh, beberapa ekor gajah seakan menyapa dengan mengeluarkan suaranya yang khas sambil mengangkat belalainya. Gajah-gajah tersebut adalah Adei dengan jenis kelamin jantan, lahir pada 1 Januari 1980. Kemudian, Mery, jenis kelamin betina, lahir 1 Januari 1984. Ika, jenis kelamin betina, yang lahir 1 Januari 1989. Mira, gajah betina yang lahir 1 Januari 1988. Lalu, dua ekor gajah kecil, masing-masing bernama Carmen (betina) yang lahir 27 Januari 2009, dan Raja Arman (Jantan) lahir 5 July 2011.

Gajah-gajah tersebut awalnya berjumlah empat ekor, yakni Mira, Ika, Meri dan Adei yang diterima dari PLG Sebangga tanggal 9 Desember 1994. Barulah pada tanggal 1 Juni 2006, Camp EFS didirikan sebagai salah satu butir kesepakatan dan menyusul Februari 2006, pawang/ mahout mulai direkrut dari sejumlah PLG di Indonesia, yang saat ini berjumlah 9 orang.

“5 orang Mahout didatangkan langsung dari PLG Way Kambas Lampung, 3 orang dari PLG Minas dan seorang lagi dari WWF. Mereka para pawang-pawang gajah bertugas melatih gajah tim EFS untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan gajah-gajah binaan dalam melaksanakan tugas meminimalisasi konflik gajah-warga,” kata Budi Tindaon, Askep Fire and Protection Estate Ukui RAPP.

Dengan luas wilayah 16 ribu hektar, Estate Ukui, ada juga hutan konservasi yang dilindungi sebagai tempat tinggal hewan liar dan biodiversiti lingkungan. Kawasan itu sendiri terletak berdekatan dengan Taman Nasional Teso Nilo (TNTN). Kawasan TNTN sendiri memiliki luas sekitar 86 ribu hektar, dan juga ditetapkan menjadi area konservasi gajah. Karena berada di lintasan homerange (jalur lintasan) Gajah, konflik pun tak terhindarkan, kawasan permukiman dan perkebunan sawit masyarakat yang ada di sekitar TNTN kerap menjadi sasaran amukan gajah-gajah liar. Untuk itu, keberadaan EFS berperan penting dalam meminimalisir terjadinya konflik dan mencegah perburuan satwa liar yang dilindungi undang-undang tersebut.

Gajah dewasa dapat patroli dalam radius delapan kilometer per hari. Selain patroli gajah, para Mahout juga akan berpatroli dengan menggunakan sepeda motor. Dalam melakukan patroli, para mahout juga membawa dilengkapi berbagai peralatan seperti Radio, GPS, Peta, Bahan Makanan, dan Catatan seluruh aktifitas. Selain itu, Mahout juga membawa sejenis meriam untuk menggiring gajah-gajah liar tersebut kembali ke habitatnya sehingga tidak sampai masuk ke permukiman dan perkebunan.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/02102014/img_1337jp-1439.jpgRAPP juga bekerjasama dengan Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Riau dan Yayasan Pelestarian Alam dan Satwa (PALS) yang merupakan mitra lembaga konservasi dunia Wildlife Conservation Society (WCS) untuk memberi pelatihan mitigasi konflik manusia dengan satwa liar kepada staf operasional RAPP. EFS RAPP bersama tim Flying Squad WWF Riau, Balai TNTN, BBKSDA dan Yayasan Taman Nasional Teso Nilo (YTNTN) juga melakukan patroli bersama pada 19 Agustus - 2 September 2014 lalu di kawasan sekitarnya

Agar terjaga kesehatannya, gajah-gajah tersebut rutin melakukan check-up (pemeriksaan kesehatan) setiap tiga bulannya. Gajah tersebut diberikan makanan berupa daun pisang yang diantar setiap minggunya dengan truk serta ekstra pudding berupa jagung pipil, ubi dan gula merah.

“Gajah juga bisa terkena penyakit seperti cacingan dari makanan daun pisangnya atau gondokan karena kekurangan minum,” jelas Hendro Rambe, salah satu Mahout Gajah, Ika.

Selain terlatih berpatroli, gajah-gajah binaan RAPP ini juga dilatih ketangkasannya. Salah seorang Mahout, Williamson mengatakan gajah-gajah tersebut bisa menjadi sangat akrab dan mampu melakukan berbagai atraksi yang sangat menghibur.

“Kita juga melatih ketangkasan gajah ini, di antaranya menghitung, bermain bola dan mengalungkan bunga kepada pengunjung di EFS,” ujar Willamson.

Dengan adanya program EFS ini, diakui konflik gajah-manusia mulai menurun. Guna meningkatkan kemitraan dengan masyarakat, tim EFS RAPP juga memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bagaimana menghadapi gajah liar. RAPP sudah mempraktekkan pengelolaan dan prosedur terbaik dalam pengelolaan hutan lestari yang memisahkan areal yang berfungsi untuk konservasi dengan mengacu pada kajian Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value Forest-HCVF). RAPP juga turut melindungi hutan alam koridor lintasan satwa dan mengembangkan pola penanaman mosaik untuk menjaga wilayah jelajah satwa liar serta membatasi gerak pemburu liar di kawasan hutan yang tidak dikelola. (rls)