Bicara soal martabat, setiap negara memilikinya dan selalu berusaha untuk mempertahankan sekuat tenaga. Begitu juga dengan bangsa ini. Namun sejak beberapa tahun terakhir, negara Demokrat dilanda masalah, di antaranya dengan Singapura dan kabut asap. Yang baru hanya soal Usman dan Harun.

Ketiga persoalan itu saling berkaitan, ibarat mata rantai masalah yang saling mengikat hingga mengancam martabat bangsa ini.

Bicara soal bencana kabut asap, tahun lalu cemarannya hingga menjangkau negara-negara tetangga termasuk Singapura. Kondisi itu sempat membuat pemerintah gundah.

Singapura ketika itu mengajukan protes untuk pemerintah Indonesia. Hal itu berujung keluar pernyataan maaf dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas dampak dari peristiwa kebakaran lahan atau hutan di daratan Sumatera.

Hubungan kedua negara yang sempat menegang ketika itu, berangsur membaik setelah pemerintah memberikan respon cepat untuk menanggulangi bencana tahunan itu.

Namun agaknya kali ini kondisinya berbeda. Perseteruan dengan Singapura telah dimulai lewat penamaan Kapal Republik Indonesia (KRI) yang menggunakan nama dua pahlawan negara, Usman dan Harun.

Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew memprotes keras penamaan KRI Indonesia menggunakan nama dua pahlawan tersebut.

Alasannya, karena Sersan Usman dan Kopral Harun sebagai prajurit KKO (kini Marinir) semasa hidup pernah meledakkan sebuah gedung di Singapura dan dihukum mati atas perbuatannya saat menjadi tawanan, pada masa konfrontasi dengan Malaysia.

Belum lagi usai persoalan penamaan KRI tersebut, kini bencana kabut asap yang diakibatkan peristiwa kebakaran lahan di Sumatera khususnya Provinsi Riau malah manapakan "musim". "Kondisi ini bisa memperparah hubungan Indonesia dengan Singapura," kata pemerhati dari Universitas Riau, Hamdi Hamid, Rabu (12/2/2014).

Kabut Asap

Menarik sejarahnya, kabut asap merupakan bencana tahunan yang selalu menghantui sebagian besar wilayah di Sumatra, khususnya Provinsi Riau.

Belum ada solusi mengatasi permasalahan yang disebabkan kebakaran hutan dan lahan ini. Setiap tahun, bencana yang kerap muncul pada waktu musim kemarau ini telah menjadi sorotan nasional bahkan internasional.

Lingkungan menjadi tercemar, kesehatan manusia terancam, bahkan martabat bangsa kian "terperosok" akibat peristiwa klasik ini.

Berbagai upaya mulai dari lintas pemerintah pusat, daerah bahkan sektoral dirasa belum optimal dalam mengatasi permasalahan ini. Kondisi ini dibuktikan dengan masih maraknya kasus kebakaran dan pembakaran lahan oleh masyarakat dan perusahaan di Provinsi Riau.

Pemerhati Lingkungan Hidup dan Kesehatan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Riau sejauh ini telah mendatangkan kerugian yang teramat dahsyat.

Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan tersebut, kata dia, memberikan tiga dampak negatif, yakni tercemarnya lingkungan, terganggunya kesehatan manusia dan melemahkan roda perekonomian bangsa. "Partikel yang terkandung pada asap sisa kebakaran hutan dan lahan terpecah menjadi tiga bagian, di antaranya yakni pertikel yang sangat halus.

Partikel ini sangat mudah terbawa oleh angin dan menyebabkan meluasnya pencemaran akibat dari kebakaran tersebut," ujarnya.

Amri mengatakan, jika sisa partikel halus ini sampai menyentuh kawasan hutan dan pepohonan pada taman kota, maka udara dapat tersaring, zat-zat berbahaya yang sebelumnya terbawa menempel di dedaunan pepohonan yang dilintasi.

"Akan tetapi, jika suatu daerah yang dilanda kebakaran hutan dan lahan tidak memiliki luasan hutan alami dan tanaman pepohonan yang mencukupi, maka penyebaran partikel berbahaya bisa sangat jauh bahkan hingga menjangkau permukiman penduduk," katanya lagi.

Apabila hal demikian terjadi, menurut Amri, maka partikel halus tersebut juga akan mencemari perairan baik di sungai maupun pada sumber air yang menjadi konsumsi masyarakat.

Kondisi ini, kata Amri, juga dapat membahayakan kesehatan manusia, terlebih jika manusia itu menghirup udara dan mengonsumsi air yang telah tercemar secara langsung.

Udara dan air yang telah tercemar secara langsung, menurut dia, akan mampu mengotori paru-paru serta menghambat saluran pernafasan serta peredaran darah manusia pengonsumsinya.

Lain dari itu, menurut pemerhati ini, kandungan asap dan partikel halus berbahaya yang terbang lebih tinggi bersama udara jika mencapai "sarang" awan penghujan, maka juga akan mampu mengotori embun atau air hujan yang dihasilkan oleh gumpalan awan penghujan.

"Air hujan yang tercemar oleh partikel asap ini juga berbahaya jika dikonsumsi secara langsung oleh manusia mengingat kandungan zat asamnya yang sangat tinggi dan dapat mendatangkan kanker pada tubuh manusia," katanya.

Kondisi demikian yang mungkin akan menjadi alasan berikutnya bagi Singapura untuk kembali mempersalahkan negara ini.

Mulai Parah

Memasuki tahun baru 2014, bencana itu kembali datang. Tiga pekan sudah pada Februari ini, kebakaran lahan melanda Sumatera khususnya di Riau dan semakin parah.

Berdasarkan data gabungan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau dan Polda Riau, luas kebakaran lahan dan hutan di Provinsi Riau sudah mencapai 5.483,95 hektare. Tercatat sejak akhir Januari hingga pekan kedua Februari.

"Kebakaran bukan hanya terjadi di lahan masyarakat, tapi juga diduga kuat juga di lahan milik perusahaan. Luas area kebakaran juga masih akan bertambah karena belum semua laporan masuk ke BPBD," kata Kepala BPBD Riau, Said Saqlul Amri di Pekanbaru.

Kondisi tersebut menyebabkan berbagai wilayah kabupaten/kota di Riau menjadi tercemar kabut asap pekat. Aktivitas masyarakat mulai terganggu, termasuk sektor pendidikan dan perekonomian.

Bahkan akibatnya, beberapa wilayah mengalami kondisi darurat kabut asap mengingat kualitas udara yang begitu menurun drastis.

Dinas Kesehatan Provinsi Riau menyatakan kualitas udara di beberapa wilayah seperti Kota Dumai dan Kabupaten Siak sudah berstatus bahaya bagi kesehatan manusia.

"Bahkan terakhir dikabarkan sudah berada pada 449 PSI (pollutant standards index) yang artinya sudah sangat tidak sehat atau berbahaya akibat tercemar kabut asap," kata Kepala Dinas Kesehatan Riau, Zainal Arifin di Pekanbaru.

Selain Dumai, kata dia, penurunan kualitas udara terparah juga terjadi di Kabupaten Siak dengan tingkat pencemaran (polutan) di atas 200 PSI.

Kondisi demikian menurut dia sudah sepantasnya diantisipasi oleh pemerintah daerah melalui masing-masing Dinas Kesehatan. "Kami (Dinkes Riau) juga telah mengirimkan surat ke seluruh Dinas Kesehatan tingkat kabupaten/kota di Riau untuk terus melaporkan perkembangan kondisi di daerahnya masing-masing," kata dia.

Ribuan Titik Panas

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru menyatakan bahwa dalam tiga pekan terakhir Satelit Terra dan Aqua telah mendeteksi ribuan titik panas (hotspot) di daratan Sumatera khususnya Riau.

Begitu juga dengan rilis BPBD yang menyatakan bahwa Satelit NOAA-18 milik Amerika Serikat juga mendeteksi kemunculan ribuan titik panas di daratan yang sama sejah tiga pekan ini.

Terakhir pada Selasa (11/2) sekitar pukul 17.00 WIB, satelit tersebut mendeteksi ada sebanyak 458 titik panas di Sumatera dan di Riau mencapai 244 titik yang tersebar di 11 daerah.

Kondisi tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Beberapa waktu lalu, Pemerintah Provinsi Riau kemudian menyatakan daerah ini tengah siaga bencana kabut asap.

Penjabat Gubernur Riau, Djohermansyah Djohan langsung memimpin rapat koordinasi bersama instansi terkait guna mengatasi dengan cepat persoalan klasik itu.

Perusahaan yang beroperasi di daerah itu termasuk pemilik lahan yang terbakar segera melakukan reaksi cepat pemadaman titik kebakaran.

Namun dua pekan upaya itu dilakukan, kepulan asap masih tetap mencemari berbagai daerah kabupaten/kota di Riau, bahkan semakin parah.

BMKG Stasiun Pekanbaru memprediksi, jika kebakaran lahan di Riau semakin parah, maka tidak menutup kemungkinan kabut asap akan kembali menjangkau Malaysia dan Singapura.

Ancaman martabat bangsa jilid dua benar-benar berada di depan mata. Kali ini, kondisinya diperparah dengan perseteruan penamaan Kapal Republik Indonesia.

Namun agaknya pilihan terbaik untuk menghindari hal terburuk adalah; mengatasi segera kasus kebakaran lahan di daratan Sumatera penyebab kabut asap, dan konsisten mempertahankan martabat bangsa dengan tetap "menempelkan" nama pahlawan kontroversi, Usman dan Harun pada dinding KRI.

Majulah Negeriku...! (ant)