PEKANBARU – Rencana pemerintah untuk mengampuni pelaku penggunaan hutan secara ilegal seluas 1,44 juta hektare di Riau mendapat penolakan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau. Pengampunan ataupun pemutihan dinilai sama saja dengan menghapus dosa masa lalu atau tindak pidana alih fungsi kawasan hutan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring kepada GoRiau.com, Sabtu (27/8/2022) mengatakan, dalam catatan Walhi, merujuk data Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera (P3ES) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dari 4,1 juta hektare kebun kelapa sawit di Riau, 1,8 juta hektare diantaranya berada di kawasan hutan.

''Merujuk data tersebut, maka seharusnya lebih dari 1,4 juta kawasan hutan yang telah dipergunakan untuk aktivitas ilegal di Riau,'' urainya

Terkait rencana pelepasan kawasan hutan dengan pengoperasian Pasal 110A dan 110B UU 18/2013 sebagaimana diubah oleh UU 11/2022 tentang Cipta Kerja, katanya, sikap Walhi secara keseluruhan, menolak.

Pengoperasian ketentuan tersebut, jelasnya, sama halnya menghapus dosa masa lalu, atau tindak pidana alih fungsi kawasan hutan.

Dan dengan memperhatikan putusan MK 91/PUU-XIX/2021 yang menyatakan UU CK inkonstitusional bersyarat dan seluruh tindakan serta kebijakan strategisnya harus dihentikan terlebih dahulu, maka proses pelepasan dan pemutihan ini harus ditunda terlebih dahulu.

Hal ini diperkuat dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama oleh mantan Bupati Indragiri Hulu, R Thamsir Rachman dan pemilik PT Duta Palma Group, Surya Darmadi dalam penerbitan izin usaha perkebunan yang sebagiannya berada di kawasan hutan, maka apabila pemutihan atas nama UU CK terus dilakukan sama halnya KLHK menghambat proses penindakan tindak pidana korupsi, baik dari proses penerbitan izin, alih fungsi tutupan hutan menjadi kebun dan aktivitas usaha tanpa land tax.

''Belum lagi, tahapan-tahapan pemutihan dilakukan fokus pada inventarisasi spasial dan minim verifikasi lapangan. Hal ini berpotensi besar melanggengkan laju konflik antara korporasi dan pengusaha perkebunan kelapa sawit skala besar dengan masyarakat,'' tutup Boy.

Seperti diberitakan GoRiau.com sebelumnya, sebanyak 1.444.800 hektare hutan di Provinsi Riau telah digunakan untuk berbagai aktivitas tanpa perizinan kehutanan. Hutan seluas itu digunakan paling banyak untuk perkebunan sawit ilegal dengan luasan 1.351.816 hektare.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkapkan, para pelaku aktivitas ilegal itu akan diampuni menggunakan UU Cipta Kerja, sehingga bisa melanjutkan operasinya.

Direktur Jenderal Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menjelaskan, pihaknya mengetahui luas kawasan hutan yang digunakan secara ilegal di dua provinsi yaitu Riau dan Kalimantan Tengah dengan cara menggabungkan data citra satelit dan data hasil pengecekan lapangan. Pengecekan lapangan dilakukan oleh ratusan petugas KLHK pada 2021.

Hasilnya, terdapat 1.444.800 hektare hutan yang digunakan untuk berbagai aktivitas tanpa perizinan kehutanan di Provinsi Riau. Hutan seluas itu digunakan paling banyak untuk perkebunan sawit ilegal, yakni 1.351.816 hektare.

''Sedangkan untuk pertambangan seluas 4.892 hektare hutan. Ada pula 85.369 hektare hutan yang digunakan untuk kebun campuran. Sisanya, 2.720 hektare digunakan untuk kegiatan lainnya,'' kata Rasio dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.

Jika dilihat dari aktornya, kata Rasio, pihak korporasi adalah pelaku terbanyak yang menggunakan hutan tanpa izin di Riau. Perusahaan menggunakan 545.010 hektare hutan di Riau secara ilegal. Lalu disusul oleh perseorangan seluas 424.580 hektare. Selanjutnya kelompok masyarakat menggunakan 226.158 hektare. Sisanya dipakai oleh multi user, koperasi, dan pemerintah.

Sementara itu, di Provinsi Kalimantan Tengah terdapat 759.980 hektare hutan yang digunakan untuk aktivitas ilegal. Rinciannya, 653.113 hektare dipakai untuk kebun sawit, 106.820 hektare pertambangan, dan 48 hektare untuk penggunaan lainnya.

"Pengguna terbesar dari kegiatan tanpa izin di Kalteng adalah korporasi dengan luas 625.966 hektare hutan," kata Rasio dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.

Pengguna hutan ilegal terbesar kedua adalah kelompok masyarakat, yakni 84.387 hektare. Lalu perseorangan 33.950 hektare, koperasi 15.673 hektare, dan sisanya pemerintah.

Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono mengatakan, keberadaan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan di dua provinsi itu akan diselesaikan menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 110A menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki Perizinan Berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.

Pasal 110B menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan tanpa Perizinan Berusaha, maka dapat melanjutkan kegiatannya asalkan membayar denda administratif.

"Kalau di Provinsi Riau banyak yang menggunakan 110B," kata Bambang dalam kesempatan sama.

Bambang mengatakan, denda yang dijatuhkan kepada pelaku menggunakan Pasal 110 B itu sekitar Rp 10 juta per hektare. Nilai denda itu lalu dikalikan dengan jangka waktu penggunaan hutan tanpa izin.

"Katakanlah 1 juta hektare dikali Rp 10 juta dan dikali jangka waktu pakai 5 tahun, ya dendanya sekitar Rp 50 triliun," ungkap Bambang. ***