HIPOTESIS menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) salah satu artinya adalah anggapan dasar. Dari definisi ini bisa dipahami bahwa uji hipotesis adalah sebuah proses menguji sebuah anggapan terhadap sesuatu.

Secara lebih lengkap, uji hipotesis adalah cabang Ilmu Statistika Inferensial yang dipergunakan untuk menguji kebenaran suatu anggapan secara statistik dan menarik kesimpulan, apakah menerima atau menolak anggapan tersebut.

Sebut saja misalnya seorang peneliti beranggapan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan keyakinan seseorang terhadap adanya virus Covid-19 di Provinsi Riau, maka orang tersebut harus menguji terlebih dahulu anggapan itu dengan sebuah proses pengujian.

Disebut sebagai proses, karena secara sederhana pengujian hipotesis diawali dengan data collecting, editing, inputting, validating, sampai dengan analizing.

Selanjutnya barulah dilakukan pengujian statistic terhadap hipotesa/anggapan itu, untuk menentukan apakah anggapan itu akan diterima atau ditolak. Jika dari hasil pengujian statistik dihasilkan nilai uji yang signifikan untuk menerima anggapan itu, maka anggapan itu pun di terima, sebaliknya jika dari hasil pengujian statistik dihasilkan nilai uji yang tidak signifikan, maka anggapan itu pun ditolak.

Ketika dari proses pengujian hipotesis menghasilkan kesimpulan untuk menerima sebuah anggapan, seorang peneliti tetap harus menyisakan kemungkinan salah terhadap kesimpulan tersebut, karena dalam  pengujian hipotesis dikenal dua jenis kesalahan, yaitu kesalah tipe 1 dan kesalahan tipe 2.

Kesalahan tipe 1 adalah kesalahan yang terjadi saat menolak hipotesis awal padahal hipotesia awal benar. Kesalahan tipe 2 adalah kesalahan yang terjadi saat menerima hipotesis awal, padahal hipotesis awal kita salah.

Dalam perspektif agama Islam, uji hipotesis adalah sebuah akhlak penting yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Hipotesis atau anggapan di dalam Alquran disebut dengan istilah zhann. Dikutip dari  HYPERLINK ''https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/1425/'' https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/1425/, lafal al-ẓan ditemukan dalam Alquran sebanyak 67 kali dalam 55 ayat di dalam 32 surah dengan 23 bentuk lafal al-ẓan yang berbeda-beda. Adapun bentuk lafal al-ẓan yang paling banyak diulang adalah lafal نظ zhann sebanyak 10 kali pengulangan  dalam berbagai konteks nya, baik zhann kepada Allah SWT maupun zhann kepada sesama manusia.

Pengulangan kata zhann sebanyak itu tidak terlepas dari sifat manusia sebagai makhluk yang dilingkupi dengan berbagai keterbatasan, sementara saat yang sama manusia adalah makhluk yang punya beragam harapan dan keinginan. Gap antara keterbatasan dan harapan itulah yang menjadi salah satu alasan munculnya zhann dalam diri manusia.

Kaidah umum yang Allah SWT tetapkan di dalam Alquran adalah bahwa seorang Mukmin hendaknya tidak terlalu banyak memperturutkan zhann/anggapan/prasangkanya.

''Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa… '' (QS Al Hujurat ayat 12).

Kata ''banyak'' dalam ayat di atas menunjukkan bahwa mayoritas prasangka adalah dosa, tapi juga ada sebagian kecil prasangka yang dapat menghantarkan seseorang kepada kebenaran. Artinya, jika seseorang mendasarkan sebuah kesimpulan hanya atas dasar prasangka, maka hal ini hanya akan menjatuhkan dirinya ke dalam kesalahan (baca : dosa). 

Lalu, prasangka seperti apa yang bisa mengantarkan seseorang kepada kebenaran, minimal ketepatan dalam pengambilan kesimpulan? Masih di dalam Surat Al Hujurat, Allah SWT memberikan metodologi agar sebuah prasangka tidak menjatuhkan seseorang ke dalam kesalahan, dan metodologi yang dimaksud adalah tabayyun/pengecekan.

''Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka lakukanlah tabayyun agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu,'' (QS Al Hujurat ayat 6).

Ayat ini turun berkenaan dengan kisah seorang sahabat Nabi SAW bernama Al Walid ibnu Uqbah yang ditugaskan untuk mengambil zakat yang sudah terkumpul di sebuah kaum yang muallaf (baru masuk Islam). Ketika Al Walid sampai di pertengahan jalan menuju kaum itu, dia merasa gentar akan diserang oleh kaum itu. Akhirnya Al Walid kembali kepada Nabi SA dan mengabarkan bahwa kaum itu tidak mau membayar zakat. Hampir saja terjadi kesalahpahaman yang berujung fatal saat itu, sampai Allah SWT menurunkan ayat ini.

Di sinilah letak pentingnya tabayyun  terhadap suatu data atau informasi, agar penyikapan yang diambil oleh seseorang menjadi tepat terhadap informasi tersebut.

Metode tabayyun adalah sebuah metode yang sama persis dengan pengujian hipotesis di dalam ilmu statistik. Dimulai dari diterimanya data atau informasi, divalidasi, dianalisis dan akhirnya disimpulkan.

Di era informasi saat ini, tabayyun atau uji hipotesis adalah akhlak yang harus diperkuat agar kehidupan sosial antar manusia menjadi harmoni.***

Muji Basuki, S.ST, M.Si adalah statistisi di BPS Provinsi Riau.