JAKARTA - Sejumlah warga di Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten, mengaku masih menebus jutaan rupiah untuk mendapatkan sertifikat tanah dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Padahal program ini kerap kali digaungkan oleh Presiden Joko Widodo tak memungut biaya sama sekali.

Belum lama, Jokowi membagikan sertifikat tanah secara gratis kepada 40.172 warga Tangerang Selatan tepatnya pada Jumat, 25 Januari 2019 lalu. Perayaan penyerahan sertifikat itu dilakukan di halaman Skadron 21/Sena, Pusat Penerbangan Angkatan Darat, Pondok Cabe, Tangsel, Banten.

"Saya kadang-kadang harus mengecek apakah sertifikat ini diberikan hanya ke bapak ibu di depan tadi atau betul-betul bapak ibu sudah pegang semuanya," kata Jokowi kala itu.

CNNIndonesia.com kemudian menelusuri apakah benar penyerahan sertifikat tanah itu melalui proses tanpa berbayar sama sekali.

Salah seorang warga di Kelurahan Pondok Cabe Ilir bercerita bahwa label gratis untuk sertifikat tanah tersebut tidak benar. Ia bisa mengatakan demikian karena keluarganya diminta membayar Rp2,5 juta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program kebanggaan Jokowi itu.

"Bapak saya ikut program ini kan karena katanya gratis, tapi pas tanya ke RT ternyata harus bayar sekitar Rp2,5 juta," kata warga yang enggan disebut namanya tersebut kepada CNNIndonesia.com, Selasa (31/1).

Jumlah itu, kata dia, cukup mahal ketimbang pungutan yang diwajibkan di RT-RT lain yang rata-rata berkisar di angka Rp1,5 juta. Namun dari informasi yang ia ketahui, bahkan ada juga RT yang memungut Rp3,5 juta untuk mengikuti program ini.

Sejumlah warga tersebut sebetulnya sudah mengetahui terkait pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat melapor kepada Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) jika dipaksa membayar administrasi dalam pembuatan sertifikat tanah, baik oleh pemerintah daerah maupun Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun hampir kebanyakan dari warga mengakui pungutan liar untuk mengikuti program PTSL sudah mafhum diketahui banyak orang. Banyak orang yang enggan untuk melapor ke Saber Pungli karena pungli itu dianggap masih jauh lebih murah ketimbang mengurus dengan metode reguler.

"Kita malah enggak enak karena sudah kenal dekat dengan RT setempat, jadi bayar-bayar aja enggak perlu ngadu lagi, enggak usah usik rezeki orang," kata warga tersebut.

Warga Pondok Cabe Ilir lain yang kami temui membenarkan hal itu. Ia bercerita uang itu dimintakan oleh RT untuk dibagi dengan pihak kelurahan setempat. Dia sendiri mengaku mengeluarkan Rp1,5 juta untuk program PTSL ini.

Ia tak mempermasalahkan pungli tersebut karena kalau mengikuti jalur reguler jumlah uang yang ia keluarkan bisa mencapai Rp15 juta.

"Lagipula mana ada sih yang gratis? Yang gratis kan cuma kentut," katanya sambil terkekeh.

Sujadih, Ketua RT 05 RW 06 Pondok Cabe Ilir, tak menyangkal ada biaya sekitar ratusan ribu rupiah yang diminta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program PTSL. Ia pun tak menutupi kemungkinan ada RT-RT yang menagih hingga Rp1,5 juta.

Hanya saja, ia berdalih hal itu bersifat sukarela. Uang itu pun dipakai untuk mengupahi orang-orang yang melakukan pengukuran tanah dan lain-lainnya.

"Mungkin ada juga yang segitu, yang pasti sifatnya sukarela," kata Sujadih.

Munadi, Lurah Pondok Cabe Ilir, mengaku tidak tahu sama sekali perkara pungli sertifikat tanah ini. Munadi menegaskan segala kebijakan yang dikeluarkan selama program PTSL di wilayahnya dilakukan oleh pejabat lurah sebelumnya.

"Kalau terkait biaya dan sebagainya, pada saat sertifikat ini dibagikan sama sekali Lurah Munadi kaga menangani. Terhitung Maret sampai Agustus 2018, saya sedang diklat. [Program] itu baru berjalan, saya masuk diklat enam bulan," jelas Munadi.

Dari surat edaran yang dikeluarkan lurah sebelumnya, Munadi menjelaskan pengurusan sertifikat tanah dalam program PTSL itu memang gratis.Ia berpendapat warganya sangat menyambut pembagian sertifikat tanah dari pemerintah ini. Selain secara biaya jauh lebih murah, prosesnya juga membutuhkan waktu relatif lebih cepat dibanding metode reguler. Ini sebabnya Munadi tampak agak keberatan perkara ini diungkit ke permukaan.

"Jadi bahasa saya, jangan tuh orang dibangun-bangunin. Dalam artian kata dikorek-korek dan sebagainya," pungkas Munadi.***