PEKANBARU - Konflik antara nelayan tradisional Rawai di Kabupaten Bengkalis dengan nelayan jaring batu berkepanjangan selama 34 tahun tanpa penyelesaian dan regulasi yang tegas dari pemerintah, baik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau.

Terjadi sejak tahun 1983, konflik ini telah memakan korban jiwa dan korban luka, baik secara fisik dan psikis. Tercatat pada tahun 2006 konflik antar nelayan memakan lima korban nelayan meninggal dunia dan puluhan warga luka-luka.

"Lemahnya perhatian pemerintah dalam pengawasan dan penegakan hukum menjadi faktor utama konflik terjadi sudah lebih dari 30 tahun," kata Ketua Solidaritas Nelayan Kabupaten Bengkalis (SNKB), Abu Samah kepada GoRiau.com di Sekretariat Walhi Riau, Jalan Cempedak Pekanbaru, Kamis (2/2/2017).

Ia pun menyesalkan ketidaktegasan pemerintah yang dinilai tidak bisa menerapkan penegakan hukum, padahal korban jiwa akibat konflik ini terus berjatuhan.

Hingga saat ini, aktivitas tangkap jaring batu masih terus berlangsung dengan sebaran wilayah tangkap yang semakin meluas di seluruh wilayah perairan Kabupaten Bengkalis.

Ini mengakibatkan nelayan tradisional yang berada di Kecamatan Bantan, Kecamatan Bengkalis, Kecamatan Bukit Batu, Kecamatan Siak Kecil, Kecamatan Rupat, dan Kecamatan Rupat Utara tidak mendapatkan hasil tangkapan ikan.

"Kami hanya ingin memperjuangkan hak kami sebagai nalayan lokal. Kami juga punya keluarga yang harus dihidupi," kata Abu.

Disampaikan Abu, bahwa kenyamanan dan keamanan nelayan tradisional di Bengkalis dalam mencari nafkah pun menjadi terancam.

Tak ayal, banyak nelayan yang menganggur dan beberapa diantaranya harus pontang-panting beralih profesi lantaran tidak mendapatkan apa-apa saat melaut karena ikan semakin susah didapat,

"Kami sering pulang melaut dengan tangan hampa. Jumlah ikan kurau dan ikan malung semakin susah didapat," urainya. ***