PEKANBARU - Sidang pra peradilan (Prapid) yang diajukan H Muhammad ke Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, kembali digelar Jumat (20/3/2020), dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi ahli dan fakta.

Pihak pemohon (Muhammad, red) melalui kuasa hukumnya Abdullah Subur, SH MH menghadirkan dua orang saksi ahli. Keduanya adalah, Dr Septa Candra, SH MH (ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta/UMJ) dan Muhammad Rullyandi, SH MH (ahli hukum tata negara Universitas Pancasila Jakarta).

Sementara kuasa hukum Polda Riau selaku termohon, menghadirkan tiga saksi ahli dan fakta, diantaranya Prof Dr Edi Warman (saksi ahli pidana dari Universitas Sumatera Utara/USU), saksi ahli pengadaan barang Hendra Mayendra, SH MH dari LKPP Kepri dan saksi fakta Kamusni dari PDAM Tirta Indragiri Inhil.

Di hadapan hakim tunggal Yudissilen, SH, saksi ahli dari pemohon, yakni Dr Septa Candra, SH MH mengatakan, seorang penyidik harus hati-hati dalam proses menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jika tidak, katanya, penyidik bisa keliru dalam menetapkan tersangka dalam suatu kasus pidana.

''Menurut pengalaman saya, penyidik kadang-kadang keliru dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Banyak proses yang harus dilalui penyidik sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka,'' kata Septa.

Kemungkinan kekeliruan penetapan tersangka oleh penyidik itu katanya, berawal dari proses bukti permulaan, yakni minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang sah, seperti diatur dalam KUHAP. Alat bukti yang sah, tidak hanya terfokus dengan kuantitas (jumlah, red), tetapi yang terpenting kualitas.

Septa menjelaskan, bila penyidik telah menemukan dua alat bukti yang cukup, bukan serta-merta menetapkan seseorang sebagai tersangka. Alat bukti juga harus memiliki kesesuaian (kualitas, red) dengan tindak pidana yang dilakukan tersangka.

''Nilai atau filosofi seseorang ditetapkan sebagai tersangka itu tidak mudah. Karena tidak cukup dengan dua alat bukti secara kuantitas, tetapi juga kualitas, ada relevansinya atau tidak,'' tegasnya.

Septa mencontohkan keterangan saksi sebagai satu alat bukti pidana, yang harus ada kolerasi dan relevansi dengan tindak pidana dilakukan tersangka. Kemudian dicocokkan dengan alat bukti lainnya seperti surat.

Tidak hanya itu, penyidik dalam proses penyidikan juga membutuhkan keterangan dari orang yang disangkakan sebagai alat bukti ketiga. Termasuk keterangan saksi ahli dan saksi-saksi dari orang yang disangkakan atau dilaporkan.

''Sehingga ketika penyidik menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan minimal dua alat bukti tersebut, benar-benar dua alat bukti yang relevansi dan juga kualitas terhadap perbuatan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka,'' terangnya.

Terkait adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI yang menyatakan seseorang dalam status daftar pencarian orang (DPO) tidak bisa mengajukan pra pidana (Prapid) ke Pengadilan, Septa mengatakan, jika aturan itu bukan produk undang-undang. Menurutnya, SEMA hanya berlaku untuk internal Mahkamah Agung (MA) saja.

Septa menyebutkan, dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, setiap orang boleh mengajukan permohonan Prapid tanpa ada batasan. Dalam UU itu disebutkan yang boleh mengajukan Prapid itu adalah tersangka, keluarga tersangka atau kuasa hukum tersangka.

''Kalau SEMA membatasi seseorang mengajukan pra peradilan, secara substansi tidak pas, karena tumpang tindih dengan undang-undang. Kenapa harus berdasarkan undang-undang, karena undang-undang dibuat oleh perwakilan eksekutif dam legislatif. Jadi kalau ada yang membatasi, harus berdasarkan undang-undang, bukan SEMA,'' tegasnya.

Dijelaskannya, seorang tersangka sebelum ditetapkan sebagai DPO masih memiliki hak untuk mengajukan permohonan Prapid ke pengadilan. Kecuali, Prapid diajukan tersangka setelah status DPO ditetapkan penyidik.

Saksi pemohon lainnya, yakni Muhammad Rullyandi, SH MH, ahli hukum tata negara dari Universitas Pancasila Jakarta ini menerangkan terkait kewenangan atau tangung jawab pejabat pemerintah apabila terjadi penyelewengan satu kegiatan atau proyek. Menurutnya, yang bertanggung jawab terjadinya kesalahan dalam proyek adalam pejabat pembuat komitmen (PPK), PPTK ke bawah.

Rully mengatakan, PPK paling bertanggung jawab atas terjadinya penyelewengan suatu kegiatan, karena PPK yang melakukan kontrak penandatanganan kontrak dengan penerima pekerjaan (kontraktor-red), bukan pejabat pengguna anggaran (PA) atau pejabat kuasa penggguna anggaran (KPA) suatu kegiatan.

''Pejabat yang melakukan kontrak penandatanganan kontrak, maka dialah yang bertanggungjawab akibat kerugian negara yang ditimbulkan,'' terang Rully.

Sidang Prapid ini kembali dilanjutkan pada Senin (23/3/2020) mendatang. Agenda selanjutnya kesimpulan.rls