JAKARTA - Anggota DPD RI (Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia), Filep Wamafma mengaku khawatir, label 'teroris' kepada KKB dan pihak-pihak yang terafiliasi dengan itu bisa secara 'brutal' menyasar pegiat demokrasi pengkritik pemerintah. Sebagai pejuang aspirasi, dirinya juga khawatir dilabeli 'teroris'.

"Sebagai wakil daerah kami khawatir juga ketika kita memberikan pandangan-pandangan terkait dengan persoalan diskriminasi, persoalan pelanggaran HAM, persoalan rasisme dan persoalan-persoalan krusial di Tanah Papua, jangan-jangan kita sebagai wakil daerahpun disebut sebagai teroris," kata Filep dalam sebuah rilis yang diterima GoNEWS.co, Jumat (30/4/2021).

Sehingga, kata Filep, "Pemerintah harus memberikan definisi khusus terkait dengan kelompok atau afiliasi KKB yang disebut sebagai kelompok atau organisasi teroris untuk menghindari bias definisi atau generalisasi terhadap orang atau kelompok orang di Papua,".

Sementara itu, merujuk pada definisi terorisme yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang PemberantasanTindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang menyebutkan bahwa terorisme ialah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Filep Wamafma menyampaikan, dari pengertian tersebut dapat dikaji beberapa hal terkait antara lain: Pertama, pengertian tersebut mengandung makna bahwa dalam konteks terorisme, aspek politik, ideologi ataupun agama tidaklah semata-mata ditempatkan sebagai motif, tetapi sebagai tujuan. Menurutnya, hal itu harus dibedakan dari gerakan atau perjuangan pembebasan yang motifnya adalah politik.

"Perbedaan antara motif dan tujuan ini harus dibuktikan secara jelas. Bila memakai frasa 'dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan', maka penegak hukum akan kesulitan untuk membuktikan keseluruhan unsur motif tersebut," terangnya.

Kedua, terkait kejelasan dan ketegasan, terdapat frasa "yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal". Frasa ini menurut Filep, sangat kabur dan bias dan cenderung menimbulkan multitafsir, karena sesungguhnya akibat dari terorisme tidak dapat dipersempit hanya pada perbuatan yang mengakibatkan korban dalam jumlah banyak.

"Belum lagi bila kategori 'banyak' itu dipersoalkan secara kuantitatif. Dalam hukum, ada asas lex certa, lex stricta, lex scripta. Hukum itu harus jelas dan tegas, tertulis, atau artinya tidak multitafsir. Hal ini berarti tindakan pelabelan terorisme terhadap organisasi tertentu, berpotensi menimbulkan kesimpangsiuran penegakan hukum dan bisa jadi pelanggaran HAM baru," ujarnya.

Berdasarkan kedua hal di atas, Filep Wamafma hendak menggarisbawahi pemikiran bahwa dalam memberi label teroris seharusnya diikuti dengan pendekatan HAM (hak asasi manusia) agar pemberantasan terorisme tidak sekadar mengedepankan aspek represif semata.

"Papua sudah terlalu sering mengalami represi sejak dulu. Celakanya, semua bentuk represi itu tidak pernah selesai, minimal oleh pengadilan HAM," tambahnya.

Sebagai senator Papua barat, Filep Wamafma kembali menekankan penting adanya definisi dan klasifikasi yang jelas dan benar terkait orang ataupun kelompok yang berafiliasi dengan KKB dan dikategorikan sebagai teroris. Ia tidak menginginkan warga sipil di Papua menjadi korban-korban selanjutnya yang tidak berdosa.

"Sekali lagi sebagai Senator Papua Barat, kami berharap kepada pemerintah untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan secara baik dan benar sehingga tidak lagi terjadi episode berikut pasca ditetapkan sebagai teroris muncul lagi korban-korban warga sipil yang tak berdosa," tegasnya.***