JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI, Mufida Kurniasih menyatakan, "sudah cukup" regulasi yang ada untuk dijadikan sebagai rujukan penanganan Corona di Indonesia.

Hal itu Ia tegaskan dalam diskusi Forum Legislasi "Perlukah UU Khusus Atasi Dampak Covid-19?" yang berlangsung di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/3/2020).

Undang-Undang No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, menjadi regulasi pertama yang disebut legislator asal PKS itu. Selanjutnya, Ia merinci, ada Keputusan Presiden (Keppres) no 4/2018, UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana non Alam, dan Instruksi Presiden (Inpres) 4/2019.

Justru sekarang, kata Mufida, yang perlu ditingkatkan adalah langkah konkret dalam upaya Mitigasi yang cepat. "Protokol-protokol yang sudah dikeluarkan kemarin ada 5 protokol yang terbaru, itu harus dikawal pelaksanaannya,".

"Artinya regulasi udah cukup, nggak perlu bicara tentang regulasi baru, karena bicara undang-undang pastinya butuh waktu yang sangat lama, sementara kita juga masih reses, padahal ini situasi Covid-19 harus di-handling dengan cepat," kata Mufida.

Komisi IX, kata Mufida, pada prinsipnya akan mengawasi pelaksanaan dan juga realisasi dari semua peraturan perundangan ataupun kebijakan-kebijakan yang ada, "bahkan Kemendagri juga sudah mengeluarkan Surat Edaran tentang situasi kedaruratan yang harus dilakukan. Di-handling oleh seluruh Kepala Daerah, baik di tingkay Provinsi maupun Kota/Kabupaten,".

Senada dengan Mufida, Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum yang juga Kapuspen Kemendagri menyatakan, Undang-Undang Khusus Corona tidak diperlukan. Bahtiar, juga masih memandang cukup regulasi yang ada saat ini.

"Menurut pendapat pribadi saya tak perlu. Perangkat hukum negara cukup," kata Bahtiar melalui pesan singkat kepada GoNews Grup, Selasa (10/3/2020).

Seperti diketahui, wabah Corona sempat dikhawatirkan berdampak pada Ekonomi dan Politik di Indonesia. Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid saat bicara soal dampak dari virus Corona menyatakan, bukan penyebaran Corona yang sangat mengkhawatirkan, melainkan dampak ekonominya bagi Indonesia.

"Yang mengkhawatirkan justru dari sisi ekonomi dampaknya. Karena pasar China lesu, banyak orang spekulan juga yang memanfaatkan itu. Mungkin rumah sakit-rumah sakit dan alat-alat kesehatan juga akan terjadi pelonjakan kenaikan," kata Jazilul di diskusi 'Penerapan Pilar Kebangsaan dalam Situasi Krisis', Jumat (6/3/2020).

Kesiapan dalam menghadapi dampak ekonomi ini, perlu menjadi langkah bersama semua pihak yang diikat perasaan sebangsa melalui Pancasila maupun 4 Pilar MPR RI. Kuncinya, jangan sampai dampak ekonomi berujung pada krisis yang lebih besar.

"Ada pengamat yang bilang 6 bulan lagi pemerintahan ini jatuh. Itu menurut saya pernyataan panik, jangan-jangan yang mendengar juga panik. Itu menurut saya menambah krisis. Kita kurangi pernyataan yang membuat kita pesimis dan menjadi krisis," tegas Jazilul.

Kekhawatiran Jazilul juga senada dengan paparan Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR RI, Syaifullah Tamliha. Ia menyatakan hal yang paling penting diwaspadai dari Corona adalah dampaknya terhadap perekonomian.

"Saya sependapat dengan wakil ketua MPR, bahwa terkait virus Corona, Indonesia yang paling kena dampaknya secara ekonomi, bukan penyembarannya. Sebagai badan anggaran saya pasti berasumsi," kata Syaifullah di Jumat yang sama.

Syaifullah menjelaskan, setiap penurunan 1% pertumbuhan ekonomi China, akan berakibat kepada penurunan 0,3% pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Jika yang saya cermati, pertumbuhan ekonomi China itu turun 2%, berarti (bisa, Red) turun 0,6% pertumbuhan ekonomi Indonesia,".***