PEKANBARU - Bangunan SLB Sekar Meranti di Kecamatan Rangsang Barat Kab Meranti Riau sangat memprihatinkan. Sekolah itu terbuat dari papan dan minim fasilitas.

Bangunan sekolah itu tepatnya di Desa Anak Setatah nan jauh di pelosok desa. Kecamatan Rangsang Barat adalah sebuah pulau yang ada di semenanjung Selat Malaka.

Sekolah itu terbuat dari dinding papan beratap seng bekas dengan ukuran 10 x 5 meter. Ruangan itu dijadikan tempat kegiatan belajar-mengajar bagi tiga jenjang pendidikan dari SD sampai SMA. Saat ini ada 29 siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di sana.

Ruangan kelas yang sangat sederhana itu, tak menyurutkan para murid untuk belajar demi mengejar ketertinggalan. Kesehariannya, para murid hanya beralaskan tikar. Mereka belajar dengan fasilitas seadanya.

"Baru enam bulan ini kami belajar pakai bangku dan kursi. Itu pun setelah kami menerima bantuan dari Polres Meranti," kata Syahrizal (34) yang merupakan Kepala SLB Sekar Meranti seperti dikutip GoNews.co dari detikcom, Selasa (5/9/2017).

Syafrizal menceritakan, sekitar enam bulan lalu, mereka kedatangan Kapolres Meranti, AKBP Barliansyah bersama rombongan. Kedatangan Polres Meranti ini untuk melihat kondisi sekolah yang serba kekurangan.

"Waktu itu Pak Kapolres (AKBP Barliansyah), memberikan bantuan Rp 5 juta. Uang itulah, saya belikan untuk kepentingan sekolah terutama kursi dan meja. Jadi baru enam bulan ini kita belajar ada meja dan kursi, sebelumnya kita duduk di atas tikar," cerita Syafrizal.

Dinas Pendidikan Pemkab Meranti sebenarnya sudah pernah meninjau sekolah tersebut. Lewat pejabatnya, pihak yayasan disuruh buat proposal agar ada dana bantuan untuk keperluasan sekolah.

"Sudah 10 kali proposal kami kirimkan ke Pemkab Meranti. Sampai sekarang kami belum pernah menerima bantuan apapun. Ya nggak taulah, apa sebabnya," kata Syafrizal.

Begitupun Syafrizal tetap bersyukur. Sekolah SLB yang dia tekuni malah mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Lewat bantuan pemerintah pusat, pihak yayasan Sekar Meranti menerima dana BOS.

"Dana BOS itu kami sisiahkan 15 persen untuk honor guru Rp 97 ribu sebulan, dan selebihnya untuk kepentingan pendidikan. Dana BOS kita belikan juga untuk baju seragam sekolah," kata Syafrizal.

Di SLB ini, tercatat ada 24 siswa SD, dan 5 siswa SMP. Rencananya, satu siswa SMA akan masuk di sekolah ini. Para murid SLB ini merupakan anak-anak disabilitas. Mereka terdiri dari tuna grahita, tuna rungu, tuna netra, tuna daksa dan autis.

Menurut Syafrizal, di kampungnya itu sebenarnya masih banyak anak-anak disabilitas. Dia memperkirakan anak usia sekolah yang saat ini perlu perhatian khusus jumlahnya bisa mencapai 200 orang.

"Kalau kita hitung dari usia sekolah, masih ada 200 anak-anak disabilitas yang belum sekolah. Kalau untuk yang dewasa, jumlahnya juga sekitar 200-san orang. Jadi memang banyak di kampung kami ini anak-anak disabilitas," katanya.

Dengan sarana dan prasarana yang terbatas di sekolah tersebut, Syafrizal tetap akan berjuang untuk membujuk sejumlah keluarga yang anaknya berkebutuhan khusus.

"Kami dari sekolah terus menerus mengajak para orang tuanya, agar anaknya di sekolah ditempat kami. Kita juga tak mau, anak-anak disabilitas lantas tidak disekolahkan. Anak-anak itu harus sekolah sebagaimana anak pada umumnya," kata Syafrizal.***