JAKARTA - Bagi Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie bukan orang baru. Soeharto mengenalnya sejak 1950 waktu bertugas dalam operasi militer penumpasan pemberontakan Andi Azis di Makassar.

Markas Soeharto berseberangan dengan rumah keluarga Habibie. Di situlah mereka kenal. Kakak perempuan Habibie bahkan merupakan salah satu anak buah daripada Letnan Kolonel Soeharto.

Berpuluh tahun kemudian, baik Soeharto maupun Habibie telah menjadi orang terkemuka di bidang yang digelutinya masing-masing. Habibie dikenal sebagai teknokrat. Sementara Soeharto jadi orang paling kuat di Indonesia.

Beberapa tahun setelah Soeharto jadi presiden, Habibie dipanggil pulang dari Jerman, tempatnya belajar dan berkarier. Sebagai teknokrat, yang tidak hanya andal tapi juga inovatif, Habibie dengan cepat menduduki jabatan tinggi di pemerintahan.

Soeharto, seperti ditulis Andi Makmur Makka dalam BJ Habibie: Kisah Hidup dan Karirnya (1995: 117), memberi Habibie jabatan awal sebagai Penasehat Teknologi Presiden dan memimpin divisi teknologi Pertamina yang belakangan menjadi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Habibie juga diberi jabatan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) selama beberapa periode, dari 1978 hingga 1998. Sebelum Habibie, posisi tersebut dijabat begawan ekonomi yang jadi besan daripada Soeharto, Sumitro Djojohadikusumo.

Orang Paling Jenius

Di masa Orde Baru, Habibie dikenal kawula Republik Indonesia sebagai orang paling jenius. Ini tidak lain karena Habibie adalah seorang yang jago membuat pesawat. Meski dicaci sana-sini, pesawat yang dirakitnya bisa terbang dengan baik.

Ketika sekelompok kaum terpelajar Islam hendak berserikat dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Habibie termasuk salah satu tokoh yang disambangi. Habibie bahkan menjadi Ketua ICMI. Kebetulan, di masa ICMI berdiri, Soeharto sedang mendekati golongan Islam. Soeharto beruntung punya Habibie.

Kedekatan Habibie dengan Soeharto tentu membuatnya berpeluang besar menjadi wakil presiden. Ia digadang-gadang menduduki posisi "orang kedua" itu sejak 1988. Menurut Sri Bintang Pamungkas dalam Menggugat Dakwaan Subversi: Sri-Bintang Pamungkas di Balik Jeruji Besi (2000: 336), Habibie didukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

“Ketika itu Soeharto sebetulnya menginginkan Habibie sebagai pendampingnya,” tulis Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY (2009: 138).

Selain banyak orang yang memuja, ada pula segolongan orang yang tak suka Habibie jadi wapres. Kepala Staf Sosial Politik (Kasospol) ABRI Letnan Jenderal Harsudiono Hartas tampaknya dianggap sebagai orang yang membuat Habibie gagal jadi wapres. Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016: 194) mencatat Hartas pernah ikut sebuah rombongan yang menyambangi Soeharto di Jalan Cendana ketika calon wapres untuk periode 1993-1998 sudah mengerucut. Rombongan tersebut bermaksud menggagalkan Habibie menjadi pendamping Soeharto.

Kala itu Soeharto bilang, “tempat Habibie di bidang teknologi.” Try Sutrisno pun jadi wapres setelah tertunda lima tahun. Dan di tahun 1993 itu, giliran Habibie yang tertunda.

Pada Maret 1998, sesudah empat periode menjabat Menristek, Habibie akhirnya jadi wapres juga. Dia jadi wapres tepat di kala Indonesia mengalami kesulitan luar biasa. Krisis ekonomi tentu bikin kepala negara dan jajarannya kelimpungan. Habibie yang biasanya hanya mengurus pengembangan teknologi akhirnya ikut pusing dengan krisis ekonomi yang sulit diatasi pada 1997-1998 itu.

Sayangnya Habibie tidak lama jadi wapres, sebab Soeharto keburu lengser pada Mei di tahun itu juga. Sebelum Soeharto mundur, beberapa menteri seperti Ginandjar Kartasasmita dan Akbar Tandjung sudah mundur lebih dulu. Sepengakuan Habibie dalam Detik-detik Yang Menentukan (2006: 33), sebelum para menteri itu membicarakan soal pengunduran diri mereka kepada Soeharto, mereka membahasnya terlebih dahulu dengan Habibie.

Di tanggal 20 Mei 1998 itu, ketika baru dua bulan sembilan hari menduduki kursi wapres, sudah ada isu bahwa Habibie juga hendak mengundurkan diri. Menteri Keuangan Fuad Bawazier pun bertanya langsung pada Habibie lewat telepon.

“Apakah isu yang berkembang, bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, benar?” tanya Fuad.

Habibie pun menjawab, “isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikomplek, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut.”

Habibie tidak mundur dari masalah kepemimpinan nasional di bulan Mei itu. Pada malam 20 Mei 1998 sebelum Soeharto mundur, Habibie menemui Soeharto. Dia sempat bertanya kepada Soeharto bagaimana kedudukan dirinya setelah sang presiden mundur. Sepenuturan Habibie, Soeharto menjawab, “terserah nanti, bisa hari Sabtu, hari Senin atau sebulan kemudian, Habibie akan melanjutkan tugas sebagai Presiden” (hlm. 37).

Habibie mengaku dirinya terkejut. Menjadi presiden di masa krisis bukan hal mudah.

Habibie mengaku setelah bertemu Soeharto, pada malam yang sama, dirinya sempat mengumpulkan para menteri di rumahnya dan berharap mereka yang hendak mundur untuk menarik pengunduran diri mereka. Habibie menjelaskan Soeharto akan mengumumkan kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi.

Ketika Habibie hendak melaporkan hasil pertemuan dengan para menteri di rumahnya itu Soeharto tak mau menemui Habibie lagi.

Dianggap Pengkhianat

Di masa genting itu, sepengakuan adik tiri daripada Soeharto, Probosutedjo, dalam autobiografinya, Saya dan Mas Harto (2013), Habibie sempat ditanyai apakah dia siap menggantikan posisi presiden atau tidak. Habibie semula ragu-ragu. Namun tiba-tiba dia menyatakan siap dan sanggup menjadi pengganti Soeharto. Bagi Probosutedjo, inilah yang bikin Soeharto kecewa sekali. “Mas Harto tidak habis pikir,” katanya (hlm. 594).

“Bagaimana mungkin keputusan yang sangat penting seperti 'sanggup tidaknya' menjadi presiden bisa berubah drastis dalam hitungan hari? Tidak sampai 24 jam,” lanjut Probosutedjo yang tampaknya sekecewa abang tirinya itu.

Setelah Soeharto menyatakan diri berhenti, naiklah Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia—sesuatu yang tak pernah dia sangka. Hari-hari setelah 21 Mei 1998 itu adalah masa ketika Habibie seolah-olah tak dianggap lagi oleh keluarga daripada Soeharto.

Soeharto tampaknya telah memosisikan wakil presiden itu selayaknya abdi yang setia setengah mati kepadanya. Di mata Soeharto, seorang abdi haruslah selalu menjaga perasaan dan tindak tanduknya sesuai standar si majikan. Soeharto yang tampak minta kesetiaan lebih itu begitu "baper" kepada Habibie. Kekecewaan lah yang kemudian didapatnya.

Sejak itu hubungan Soeharto dengan Habibie renggang dan tak dapat diperbaiki lagi. Bersilaturahmi dan menjenguk Soeharto yang sedang sakit pun ditolak hingga bekas bosnya itu meninggal. Barangkali di mata Soeharto dan keluarganya, Habibie adalah “pengkhianat” yang sulit dimaafkan.***