MUHAMMAD Wahyu Salman Alfarisi lahir di tengah keluarga Muslim. Namun, pada usia 11 tahun Wahyu meninggalkan Islam. Saat remaja, Allah SWT memberinya hidayah, hingga Wahyu kembali memeluk agama Islam. Berikut kisahnya seperti dikutip dari Republika.co.id.

Pria yang kini berusia 26 tahun itu menuturkan, dirinya dilahirkan di Bali dengan nama Wahyu Sajiwo. Wahyu sudah ditinggal wafat oleh ibundanya sejak dilahirkan. Ia dibesarkan oleh ayahnya yang berasal dari Aceh. Bersama ayahnya, Wahyu kemudian menjalani masa kanak-kanaknya di Tanah Rencong, Aceh.

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dahsyat yang diiringi tsunami menerjang Aceh. Nyaris seluruh wilayah Aceh porak poranda. Musibah tersebut merenggut lebih 100 ribu jiwa. Ayah Wahyu ikut meninggal dunia dalam bencana itu. Setelah kehilangan ayahnya, Wahyu diasuh oleh kakeknya.

Namun, tak lama kemudian, kakeknya pun wafat. Karena tak ada lagi keluarganya, Wahyu pun dititipkan ke panti asuhan. Saat berusia 11 tahun, bocah lelaki ini diadopsi sebuah keluarga non-Muslim.

Karena diasuh keluarga non-Muslim dan diperlakukan dengan baik, Wahyu akhirnya mengikuti agama kedua orang tua angkatnya itu.

''Saya sudah dapat berpikir saat itu, namun karena kebutuhan hidup dan sekolah, tak apalah saya mengikuti agama mereka, asalkan saya bisa makan dan sekolah,'' ujar Wahyu menuturkan kisahnya kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Wahyu kemudian menjadi pribadi yang taat beribadah sesuai ajaran agama yang dianut orang tua angkatnya. Bahkan, keluarga angkatnya pun menawarinya untuk menjadi seorang agamawan. Namun, keinginan mereka tidak sempat terlaksana. Sebab, ia berhasil mendapat beasiswa untuk menempuh SMA di Batu, Jawa Timur. 

Orang tua angkatnya mengizinkan Wahyu muda untuk hijrah dari Aceh ke sana. Maka, berangkatlah remaja ini seorang diri merantau ke kota sejuk tersebut. Di daerah yang terkenal akan agrowisata itu, ia tinggal di sebuah asrama. Mayoritas penghuninya menganut agama yang sama dengannya.

Di Batu, pergaulan Wahyu makin luas. Lagi pula, sekolah tempatnya belajar menjadi tempat berkumpulnya banyak murid dari beragam kalangan. Tidak sedikit kawannya yang beragama Islam. Perlahan namun pasti, ia mulai menemukan kembali agama fitrah yang dahulu ditinggalkannya.

Selama di perantauan, Wahyu lebih sering hidup mandiri. Dari kedua orang tua angkat, dirinya jarang mendapatkan kiriman uang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia pun harus bekerja keras.

Pernah pemuda ini mencoba-coba berjualan kerupuk secara keliling dari pintu ke pintu. Semua dilakukannya tanpa malu atau risih.Sebab, tidak ada salahnya selama pekerjaan tersebut tidak merugikan siapa-siapa.

Saat itu, ia masih berada di kelas dua SMA. Sewaktu mata pelajaran agama Islam, ia kadang kala tetap bertahan di kelas. Mungkin muridmurid dan guru menganggapnya biasa atau sedang malas keluar.

Akan tetapi, diam-diam Wahyu menyimpan rasa ingin tahu tentang Islam. Di luar waktu sekolah, Wahyu juga menyempatkan diri untuk membersihkan masjid dan mushala yang tak jauh dari sekitar asramanya. Ia sangat senang ketika mendengar suara azan.

Ia juga mulai belajar berpuasa Senin Kamis dan Ramadhan. Bahkan, ia pun menyisihkan uangnya untuk membeli baju koko yang sangat disukainya.

''Saya sangat senang mengenakan koko putih. Jadi, saya beli beberapa dan sering memakainya. Sempat ditegur ibu asrama karena saya mengenakan pakaian Muslim, padahal saya merasa nyaman-nyaman saja,'' katanya.

Sebelum lulus SMA, Wahyu pun makin bertekad untuk mempelajari Islam. Akan tetapi, niat untuk bersyahadat belum ada. Ia memang mulai belajar sholat, meski sempat temannya menolak untuk mengajarkannya gerakan-gerakan ibadah ini.

Wahyu tidak putus asa. Ia pun mencari teman lain yang mau membimbingnya. Baginya, lebih leluasa belajar Islam karena memang sedang menetap jauh dari keluarga angkat. Ia pun tidak pernah pulang ke Aceh ketika masa liburan sekolah.

Waktu luang dimanfaatkannya untuk belajar Islam dan mencari tambahan uang. Sampai satu ketika, Wahyu bermimpi aneh.

Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seorang wanita berparas cantik, berpakaian serbaputih. Perempuan tersebut memberi isyarat ingin menggandeng tangannya. Namun, Wahyu tak sampai menyentuhnya.

Begitu bangun, lelaki ini masih menyimpan rasa penasaran. Keesokan harinya, Wahyu bertanya kepada seorang ustaz yang juga bertugas menjaga asrama. Sang ustaz lantas bertanya soal agama dan orang tuanya. Setelah mendengar cerita Wahyu, ustaz tersebut menyimpulkan bahwa wanita itu adalah ibunya yang berbeda agama, saat itu, dengannya.

Mimpi kedua adalah Wahyu bertemu ayahnya. Namun, seperti mimpi sebelumnya, ia enggan digandeng ayahnya. Saat ditanya perihal itu, ustaz ini kembali menjelaskan bahwa kedua orang tuanya Muslim, berbeda agama dengan Wahyu. Alhasil, kemungkinan besar doa-doanya tidak akan diijabah; doa anak yang berbeda agama tidak akan sampai. 

Mereka seperti berharap agar Wahyu kembali kepada agama lamanya, yakni Islam. Dengan begitu, ia pun bisa mendoakan mereka. Sebelum (kembali) menjadi Muslim, Wahyu sangat ketakutan jika mendengar ada orang meninggal.

Sebab, ajaran agama sebelumnya, yakni agama orang tua angkatnya, meyakini bahwa ketika seseorang meninggal maka akan dilahirkan kembali. Jika sebelumnya berbuat baik, yang lahir kemudian reinkarnasi yang baik. Kalau selama hidup sering berbuat keburukan maka akan lahir kembali dengan kondisi yang lebih jelek dari sebelumnya.

Wahyu selama ini hanya beribadah fokus untuk dirinya sendiri. Tidak pernah memikirkan orang tuanya. 

Di Islam, Wahyu mulai kembali mengingat kedua orang tuanya. Saat terbangun dari mimpi-mimpi itu, Wahyu menangis sedih.

Menurut ustaz tersebut, kesedihan itu adalah jalan hidayah untuk Wahyu. Ia yakin betul, Allah menghendakinya untuk kembali kepada Islam. Wahyu kemudian belajar shalat Jumat dan diajak mengaji di sebuah majelis shalawat. 

Saat bershalawat, ada bayangan kerinduan akan Nabi Muhammad SAW. Karena itu, hatinya kian mantap untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat. Masjid At Taqwa, Batu, Jawa Timur, menjadi saksi ikrar keimanannya.

Waktu itu, Desember 2016. Momen tersebut bertepatan dengan dirinya lulus SMA. Wahyu pun harus keluar dari asrama tempatnya menetap selama ini. Beruntung, ustaz pengawas asrama mengajaknya untuk tinggal di sebuah pondok pesantren di Malang.

''Setelah lulus, saya ingin kuliah, namun tak tahu biaya dari mana, bersyukur sejak di Ponpes, Wahyu mendapatkan beasiswa S-1, bahkan dua sekaligus,'' jelasnya.     

Saat itu, ia hanya mendapatkan beasiswa untuk biaya sekolah sedangkan untuk biaya hidup dan kebutuhan lain tidak ada. Wahyu harus pindah, meski ilmu agamanya belum cukup dia timba.

Banyak teman Ponpes yang menyalahkannya karena ia pindah, dianggap tidak percaya dengan Allah yang Mahapemberi rezeki. Namun, prinsip Wahyu berbeda. Wahyu tidak ingin bergantung berdakwah untuk membiayai hidup, tetapi justru dengan berbisnis yang akan membiayai dakwah.

Berbagai bisnis ia lakukan, karena selain ingin membantu pondok pesantren, ia juga menjadi kakak asuh bagi beberapa anak-anak yatim di panti asuhan.

''Alhamdulillah, saya bisa kirim beras untuk Ponpes dan adik-adik panti asuhan, bisnis kuliner dan fotokopi saya lakukan, '' ujar dia.

Dari sejak saat itu, santri di Ponpes berubah pandangan tentang bisnis dan dakwah. Mereka mulai mengikuti jejak Wahyu untuk berbisnis demi mengembangkan pondok pesantren.

Menjadi Muslim, perjalanan hidupnya makin lancar. Namun, di sisi lain, hubungan Wahyu dengan keluarga angkatnya makin renggang.

Setelah memeluk Islam, teman-teman dari agama lamanya di Malang menyampaikan kabar kepada keluarga angkatnya. Tentu mereka kecewa. Tak sampai di situ, bahkan tetangga mereka pun mengucilkan orang tua angkatnya karena Wahyu memeluk Islam.

Menjadi Muslim memang memiliki banyak tantangan, apalagi ketika berhijrah, Wahyu pun mengalaminya. Dijauhi teman dan keluarga merupakan bagian dari ujian.

Namun Wahyu berkaca kepada perjuangan Rasulullah SAW yang menghadapi banyak ujian berat dalam berdakwa. Kisah Rasulullah itu membuatnya makin istiqamah. Wahyu lebih fokus untuk memperbaiki shalat, membaca Alquran, dan makin berusaha untuk mengembangkan usahanya.

Dengan latar belakang sebagai sarjana pertanian dan manajemen, Wahyu pun mengembangkan usaha sayur organik. Bahkan, ia meruntuhkan hinaan orang lain dan menunjukkan bahwa anak yatim piatu bisa sukses jika berusaha.

Ia pun lulus S-1 di dua tempat dan mendapatkan beasiswa ke Brunei Darrusalam untuk S-2. Namun, pandemi Covid terlanjur menyerang sehingga keberangkatannya batal.

Allah memiliki rencana lebih indah. Ternyata, jodoh pasangan hidup yang lebih dahulu didekatkan. Pada Februari 2020, Wahyu melangsungkan pernikahan.

Keluarga istri pun menyambut dengan tangan terbuka kondisi Wahyu. Bagi mereka, tidak ada alasan untuk tidak menerima Wahyu menjadi bagian dari keluarganya.

Kini, Wahyu bersama istri menetap di Malang. Wahyu dan rekan-rekan lainnya juga membentuk komunitas sosial dengan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah wakaf Alquran ke berbagai daerah.***