SEJAK kecil Paulina Fitriani diarahkan orang tuanya untuk taat beribadah. Namun saat usianya masih kanak-kanak, ayahnya meninggal dunia, sejak itu Paulina mulai lalai melaksanakan ibadah.

Dikutip dari Republika.id, Paulina menuturkan, sejak absennya figur ayah di rumah, suasana di rumah sedikit demi sedikit berubah. Fitri saat itu merasa, nuansa ketaatan beribadah mulai mengendur. Biasanya, tiap akhir pekan ia selalu diwanti-wanti untuk disiplin ke tempat ibadah.

Ayah yang biasa mengingatkannya untuk beribadah sudah tiada. Sementara, ibunya cenderung sibuk dengan pekerjaan di luar rumah. Tidak jarang Fitri dan saudaranya mesti mengonsumsi apa pun makanan yang ada di dapur bila waktu makan tiba.

Beberapa kali, kenang Fitri, dirinya hanya makan nasi tanpa lauk pauk. Karena terbiasa fokus pada urusan ekonomi, ketaatan beribadah yang dahulu kuat di rumah kian mengendur. Terlebih lagi, pada akhirnya ia pun ikut sibuk mencari penghasilan.

Tempat tinggalnya saat itu tidak jauh dari hutan Sambas di Sambas, Kalimantan Barat. Untuk mendapatkan beberapa ribu rupiah, Fitri kecil kadang kala ikut dengan tetangganya, mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar. Hasil kerjanya itu lalu dibelikannya lauk pauk untuk makan.

Beberapa tahun kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang merupakan tokoh agama setempat. Sejak itu, ia dan saudaranya tinggal di rumah baru yang terletak di sebuah kampung yang agak jauh dari tempat asal. Walaupun berat meninggalkan kediamannya semula, hijrah ini pun harus dilakukan ibu Fitriani dan anak-anaknya.

Sejak pernikahan ibunya dengan sang ayah tiri, pelan-pelan kehidupan ekonomi Fitri kian membaik. Bahkan, rutinitas ibadahnya pun kembali disiplin. Tiap akhir pekan, sang kepala keluarga selalu mengajak ia, saudara, dan ibunya untuk datang ke tempat ibadah.

Tahun berganti tahun. Fitri tumbuh menjadi seorang remaja. Gadis tersebut lalu disekolahkan oleh ayah tirinya ke sebuah SMK. Berbeda dengan jenjang pendidikannya dahulu, di sana para murid terdiri atas banyak penganut agama. Inilah untuk pertama kalinya ia berteman dekat dengan orang-orang Islam.

Beberapa kali Fitri sempat dekat dengan laki-laki Muslim. Waktu itu, ia dan Yoga—demikian namanya—masih sebatas menaruh perasaan suka. Belum tepikirkan sama sekali untuk menikah. Apalagi, keduanya memiliki perbedaan keyakinan.

Setelah lulus dari SMK, Fitri bekerja beberapa tahun lamanya di sebuah perusahaan. Walaupun sempat terputus, komunikasi dengan Yoga kembali terjadi. Karena saat itu usianya sudah dewasa, pikiran untuk meneruskan hubungan ini ke jenjang pernikahan mulai muncul.

Melihat pribadi Yoga, Fitri pun menilai pria tersebut dapat dijadikannya sebagai suami yang ideal di masa depan. Bagaimanapun, soal perbedaan agama masih menjadi penghalang bagi keduanya.

Kalau dihitung-hitung, saat itu Fitri sudah mengenal lelaki tersebut lima tahun lamanya. Dan, selama itu pula antara keduanya tidak pernah membahas agama atau keyakinan masing-masing. Kalaupun ada momen, semisal perayaan hari raya Islam, ia tetap bertoleransi. Saat Idul Fitri, umpamanya, keluarganya rutin mengunjungi rumah Yoga untuk sekadar sambung silaturahim.

Sebaliknya, Yoga pun saat berkunjung ke rumah Fitri disambut dengan hangat. Peran ayah tiri Fitri sebagai seorang pemuka agama tidak menjadikan Yoga canggung atau “takut” tertolak. Singkatnya, dari pihak orang tua lelaki itu melihat Fitri sebagai anak yang baik. Begitu pula sebaliknya.

Keluarga Yoga tidak pernah sekalipun memaksa Fitri untuk berpindah keyakinan atau menjadi Muslim. Namun, lama kelamaan wanita itu sendiri yang tertarik untuk mencari tahu perihal agama calon suaminya itu.

Setelah membaca berbagai sumber literatur keislaman, ia pun berpikir bahwa agama ini mengajarkan kebaikan. Salah satu titik perbedaan dengan keyakinan religinya saat itu adalah pada soal ketuhanan. Bagi ajaran Islam, Tuhan adalah Allah Yang Maha Esa; Allah tidak beranak, dan tidak pula diperanakkan.

Pada suatu malam, Fitri memanjatkan doa, memohon ketetapan hati. "'Ya Tuhan jika Yoga adalah jodoh saya,  maka dekatkanlah. Jika ia bukan jodohku, jauhkanlah dan berikan yang menurut-Mu lebih baik,'' ungkap Fitri kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Fitri mengatakan, sesudah itu dirinya merasa doa tersebut dijawab oleh-Nya. Bukan hanya mengenai perkara jodoh atau pernikahan. Lebih penting dari itu, hatinya dimudahkan untuk menerima hidayah-Nya. Ia kian tertarik untuk mendalami Islam.

Di antara semua orang terdekatnya yang cukup memahami Islam adalah Yoga dan keluarganya. Maka, ia pun mulai sering berdiskusi dengan mereka tentang agama tauhid ini.

Dengan penuh kesabaran, mereka memperkenalkannya dengan seluk-beluk Islam. Kemudian, ia juga dipersilakan untuk mengikuti beberapa kajian keislaman yang diadakan ustazah-ustazah.

Pada tahun 2020, tekadnya sudah bulat untuk berislam. Terlebih lagi, ia mengetahui bahwa untuk memeluk agama ini seseorang ''hanya'' perlu mengucapkan dua kalimat penting, yakni dalam redaksi bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Kalimat yang dimaksud adalah syahadat.

Pada awal tahun 2020 itu, Fitri meminta izin kepada ibunya untuk memeluk Islam. Mulanya, sang ibunda menyatakan kesedihan apabila buah hati tidak seagama lagi dengannya. Namun, rasa sedih itu tidak berarti menghalanginya untuk meyakini agama lain. Sebab, kini ia telah dewasa dan dinilai dapat mempertanggungjawabkan keputusan yang diambilnya seorang.

Kesan yang berbeda ditunjukkan oleh bapak tirinya. Lelaki yang juga pemuka agama non-Islam setempat itu menentang keras keputusan Fitri. Bahkan, dari lisan sang ayah tiri terucap kata-kata keras: tidak ingin mengakui dirinya sebagai anak bila ''nekat'' memeluk Islam.

Ultimatum itu tidak menjadi penghalang bagi Fitri. Ia pun tidak mempersoalkan apabila nantinya bapak tirinya itu enggan menafkahi dirinya sejak menjadi Muslim. Yang terpenting baginya kini hanyalah restu ibunda.

Di sisi lain, ibunya menasihatinya agar tidak bersikap frontal terhadap bapak tiri. Karena itu, perlu waktu dua tahun bagi Fitri untuk benar-benar bersyahadat. Pada 26 April 2022, ia mengucapkan ikrar tauhid tersebut di kantor KUA Kecamatan Subah.

Usai itu, ia mendapatkan sertifikat yang menegaskan statusnya sebagai seorang mualaf.

''Kepala KUA sempat bertanya alasan saya memeluk Islam,'' tutur Fitri mengenang.

''Maka saya jawab, saya meyakini Islam sebagai agama saya. Kalau ada yang bilang saya pindah agama karena prosedur pernikahan, itu salah. Toh waktu itu saya masih belum ada kepastian tentang waktu pernikahan,'' ujarnya.

Meski berniat menikah dengan seorang Muslim, Fitri menekankan, keputusannya berislam datang dari kesadaran diri pribadi. Setelah bersyahadat, Fitri belajar mengenai ibadah-ibadah wajib bagi seorang Muslimah. Semua itu dipelajarinya dari para ustazah dan juga keluarga calon suaminya.

Salah satu ibadah yang dilakukannya adalah puasa Ramadhan. Shaum berarti menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lain yang membatalkan. Bagi Fitri, amalan ini semula terasa berat, tetapi lama kelamaan ia kian menikmatinya.

Selain itu, ia pun mengenakan hijab begitu resmi menjadi Muslimah. Meski bahasa yang digunakan untuk shalat dan berdoa baru dia kenal, namun Fitri mampu mengikutinya secara perlahan.

Sejak menjadi Muslimah, kawan-kawan lamanya mulai menjauhi dirinya. Malahan, beberapa gunjingan dialamatkan kepadanya. Dalam menghadapi ujian ini, Fitri tetap bersabar.

Hanya dua orang kawannya yang tetap setia menjalin pertemanan dengannya. Keduanya datang mendampinginya dalam acara akad penikahan. Bagi Fitri, persahabatan yang mereka tunjukkan sangat membesarkan hati.

Hati yang lapang memang amat diperlukannya. Semenjak jadi Muslimah, ia menyadari, kesabaran adalah kunci untuk menghadapi ujian. Misalnya ketika dirinya difitnah.

''Mereka (kawan-kawan yang menjauh) bilang, saya dikira hamil di luar nikah dan lain-lainnya. Saya anggap fitnah itu angin lalu saja. Sebab, keislaman saya murni datang dari kesadaran pribadi,'' tuturnya.

Fitri dan Yoga akhirnya menikah. Di momen yang membahagiakan itu, seluruh keluarga besar dari mempelai pria hadir. Namun, dari pihak mempelai wanita hanya beberapa yang hadir. Maklum, ayah tirinya masih sangat kecewa dengan keislaman dirinya.

Bagaimanapun, kerenggangan komunikasi itu tidak lama bertahan. Kini, mereka sudah kembali akrab selayaknya keluarga yang berbahagia.

Saat hubungannya dengan keluarga kembali baik, ujian berikutnya datang. Ternyata, ada beberapa tetangga yang mencibir ibundanya. Sebab, sang ibu dituding tidak dapat mendidik Fitri dengan baik.

''Ibu saya dihina tidak bisa mendidik anak meski sang suami (bapak tiri Fitri) adalah  pemuka agama,'' kata dia mengenang.

Fitri mengetahui sang ibu sedih karena mendapatkan perlakukan demikian dari beberapa tetangga. Ia pun berusaha menghibur ibunya. Dikatakannya, seharusnya umat beragama yang baik usai pulang dari tempat ibadah dalam kondisi menjadi lebih baik. Bukan malah menggunjing dan menghina orang lain.***