JAKARTA, GORIAU.COM - Kejaksaan Agung serius menuntaskan kasus Chevron jilid I yang merugikan keuangan negara miliaran rupiah. Bukan itu saja, bahkan Kejaksaan Agung juga akan melanjutkan ke kasus Chevron Jilid II jika sudah cukup bukti dalam proyek bioremediasi demi menyelamatkan uang negara.

Ketegasan Kejaksaan tersebut diungkapkan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto. Ia menjanjikan institusinya tidak akan berhenti pada penuntasan kasus Chevron jilid I, tapi membuka kemungkinan untuk melanjutkan ke Chevron jilid II.

''Semua kemungkinan itu, tentu bisa dilakukan. Bagi kita selama didukung oleh alat bukti yang cukup, pasti akan ditindaklanjuti secara hukum,'' tegas Andhi menjawab pertanyaan wartawan di gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jumat (30/8/2013).

Namun, dia mengingatkan tim penyidik sementara masih akan menyelesaikan tersangka ketujuh yang merupakan tersangka terakhir dalam kasus Chevron jilid I terkait proyek Bioremediasi senilai 270 juta dolar AS, yakni Alexiat Tirtawidjaja.

''Ini segera akan dituntaskan. Saya berharap, dia segera kembali ke tanah air, agar pemberkasan perkaranya tuntas. Terus terang, kami himbau tersangka untuk segera pulang ke Indonesia,'' pintanya.

Alexiat Tirtawidjaja adalah salah satu eksekutif PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), yang keburu ke AS dengan dalih untuk menemani perawatan suaminya yang sakit. Dia memberitahukan Kejagung dengan izin enam bulan sejak 2012, tapi sampai kini belum pulang.

Indikasi Sudah Jelas

Mengacu kepada penyidikan dan penelitian di lapangan proyek Bioremediasi yang merugikan negara sesuai audit Oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sembilan juta dolar AS, diketahui jelas indikasi keterlibatan pihak ketiga.

Dalam hal ini, BP (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu) Migas, kini diganti SKK Migas diduga telah memberi rekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), agar membayar klaim proyek Bioremediasi senilai 270 juta dolar AS.

Padahal, seperti diakui sumber di gedung Bundar, Kejagung proyek ini tidak sesuai dengan ketentuan, misal tidak adanya alat meneliti unsur Tph (total petroleum hidrokarbon), tapi KLH bisa merekomendasikan. Belum lagi, tenaga ahli di KLH diduga bekerja juga untuk CPI.

''Jadi perbandingan kontrak karya 80 persen berbanding 20 persen untuk Indonesia bisa terbalik 20 persen untuk Indonesia. Ini sungguh tragis,'' kata Direktur Penyidikan pada Jampidsus Arnold Angkouw waktu itu. ***