COVID-19 telah merenggut banyak jiwa, mulai dari masyarakat biasa, pejabat tinggi, ulama, bahkan tenaga kesehatan juga telah menjadi korban keganasan virus ini.

Belum lama ini media diramaikan pemberitaan dari salah seorang presenter yang juga berprofesi sebagai youtuber terkenal di Indonesia. Meskipun masih dapat terselamatkan, tetapi dikabarkan dia hampir menemui ajalnya akibat dari badai sitokin yang menyerangnya setelah terinfeksi Covid-19.

Berapa banyak lagi kita harus mendengar korban akibat Covid-19 dan kapan pandemi ini akan segera berakhir?

Kasus kematian harian Covid-19 yang terjadi di Indonesia telah mencatat rekor dunia. Menurut data Worldometer, kasus meninggal dunia akibat Covid 19 di Indonesia total mencapai 127 ribu kasus (kondisi 24 Agustus 2021). Angka yang sangat besar tetapi bukan prestasi yang patut dibanggakan. Kendati telah banyak upaya yang telah dilakukan pemerintah, tetap saja penularan dan penyebaran Covid-19 masih belum teratasi.

Sudah banyak kebijakan yang diambil oleh pemerintah, mulai dari sosial distancing, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), PPKM Darurat, PPKM Mikro, sampai akhirnya PPKM Level 1-4. Untuk kebijakan PPKM, banyak netizen Indonesia yang mengibaratkan seperti cerita sinetron ''Cinta Fitri'' yang pernah booming pada masanya. Terus berkelanjutan dengan episode dan waktu yang sangat panjang.

Pemberlakukan PPKM atau PPKM Mikro Darurat telah ditetapkan pemerintah sejak 3 Juli sampai 20 Juli 2021. Aturan ini pada awalnya hanya diberlakukan untuk wilayah Jawa dan Bali. Pengetatan aktivitas masyarakat ini dilakukan dengan berbagai ketentuan, di antaranya 100% persen WFH untuk sektor non esensial, 100% daring untuk kegiatan belajar mengajar, hanya menerima delivery/take away untuk kegiatan makan/minum di tempat umum, pembatasan jam operasional maksimal pukul 20.00 dan kapasitas maks 50% untuk tempat pembelanjaan, dan melakukan penutupan area publik. Untuk sektor esensial seperti keuangan dan perbankan; pasar modal; sistem pembayaran; TI dan komunikasi; perhotelan, dan industri orientasi ekspor tetap dapat melaksanakan kegiatan dengan ketentuan 50% WFO.

Sektor kritikal seperti energi; kesehatan; keamanan; logistik dan transportasi; industri makanan, minuman dan penunjangnya; semen, petrokimia, dan lain-lain beroperasi 100% WFO. Demikian juga dengan apotek dan toko obat dapat beroperasi selama 24 jam.

Setelah diberlakukan di Pulau Jawa dan Bali, mulai tanggal 5 Juli 2021 PPKM Mikro juga mulai diberlakukan di seluruh kabupaten/kota di luar Jawa dan diperketat untuk 43 kabupaten/kota. Ini dilakukan dengan harapan penekanan laju penularan dan penyebaran tidak hanya terjadi di Jawa dan Bali saja tetapi juga di kabupaten/kota lainnya di seluruh Indonesia.

Merasa belum maksimal, tanggal 21 Juli 2021 PPKM diperpanjang dan mulai menggunakan istilah baru, yaitu level yang dimulai dari 1 hingga 4. Hingga saat ini PPKM masih terus diperpanjang dan entah sampai kapan,atau justru akan berubah nama lagi dengan perpanjangan waktu yang lebih lama.

Seluruh kebijakan yang dikeluarkan pemerintah termasuk Pengetatan PPKM pasti sangat jelas karena dihasilkan melalui kajian-kajian oleh para tim ahli dan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

Jadi, jika kasus Covid-19 masih terus bertambah dan kita menyalahkan aturan yang ditetapkan, rasanya tidak benar. Mungkin ada hal lain yang menyebabkan aturan ini tidak berjalan maksimal. Penerapan dan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah masih tergolong rendah.

Saat PPKM misalnya, penutupan dan penyekatan jalan banyak dilakukan oleh petugas kepolisian. Menurut Ajun Komisaris Angga Wahyu Prihantoro yang dilansir melalui liputan6.com (29/07/2021), penyekatan dilakukan karena masih banyaknya masyarakat di luar sektor esensial yang beraktivitas secara normal. Ini dapat diartikan masih banyak masyarakat yang masih belum mematuhi aturan yang ada.

Bentuk ketidakpatuhan masyarakat juga dapat dilihat dari hasil survei yang dilakukan oleh BPS. Di Riau, sebanyak 37% responden masih abai atau jarang sekali menggunakan 2 masker.

Begitu juga dengan tingkat kepatuhan masyarakat di lingkungan sekitar dalam menggunakan 2 masker masih cukup rendah. Sebanyak 46,1% responden menjawab masyarakat masih abai menggunakan 2 masker. Padahal imbauan ini dilakukan karena varian virus corona sudah berkembang dan lebih berbahaya (Rilis BPS Provinsi Riau, 05/08/2021).

Begitu juga dengan pelaksanaan vaksin yang diberikan gratis oleh pemerintah. Dari hasil survei terlihat bahwa sebanyak 28,8% responden belum melakukan vaksinasi karena khawatir dengan efek sampaing atau tidak percaya akan efektivitas vaksin. Ini menjadi tugas pemerintah daerah untuk terus melakukan sosialisasi dan memberikan penerangan kepada masyarakat akan pentingnya vaksinasi.

Hal berbahaya lainnya, lebih dari dari separuh (51,3%) responden yang pernah terpapar Covid-19 tidak melaporkan keterpaparannya, padahal mengetahui keberadaan Satgas atau tempat pelaporan di lingkungan tempat tinggalnya. Ini berarti banyak pasien yang melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumah dan tidak melapor.

Epidemiolog mengatakan bahwa kebijakan isolasi mandiri di rumah disebut tidak efektif dalam membendung penyebaran virus corona, bahkan berkontribusi besar dalam menciptakan klaster keluarga (bbc.com, 06/10/2021).

Apa lagi jika tingkat kesadaran orang yang terpapar sangat rendah dan abai menerapkan protokol kesehatan, maka penularan dan penyebaran virus corona akan semakin masif. Dari rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan, penerapan protokol kesehatan melakukan vaksinasi, pelaporan kepada satgas, serta kesadaran melakukan isolasi mandiri yang tepat, menjadi sangat wajar jika angka kasus Covid-19 masih terus meningkat.

Jika pemerintah daerah, Satgas Covid-19, dan masyarakat tidak dengan cepat menyadari hal ini dan segera mengambil tindakan, maka bukan tidak mungkin akan segera terjadi ledakan kasus Covid-19 yang tidak dapat dibendung.

Kalau saja sedari awal kita bersama mau mematuhi aturan-aturan yang ada, mungkin penyebaran dan penularan Covid-19 sudah berakhir. Tidak ada kata terlambat, mari kita bersatu untuk mengakhiri pandemi ini. Semoga.***

Fitri Hariyanti adalah statistisi ahli di BPS Riau.