JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti berpendapat, kebijakan Presiden Joko Wudodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan strategi Jokowi memberlakukan kembali Undang-Undang Cipta Kerja.

Penerbitan Perppu Cipta Kerja ini, kata Bivitri juga wujud praktik buruk tentang pemerintah yang mengabaikan konstitusi dan dua cabang kekuasaan negara lainnya, yakni legislatif serta yudikatif. Ini bisa menjadi pola baru yang makin menguatkan karakter otoritarianisme.

"Apalagi, dari kemarin Pak Mahfud selalu bilang Perppu itu hak subjektif presiden," kata Bivitri, Minggu (1/1/2023), seperti dikutip dari Tribunnews.com.

"Secara teori memang begitu, makanya ada pembatasan-pembatasan tentang 'hal ihwal kegentingan memaksa', tetapi justru ini yang diinjak-injak oleh pemerintah sekarang," sambung Bivitri.

Ditegaskannya, Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, semua harus ada ukurannya, yaitu konstitusi.

"Tidak bisa subjektivitas presiden dijadikan dasar dalam bertindak, itu jadinya seperti titah raja, bukan seperti dalam negara hukum," kata Bivitri.

Berdalih Kebutuhan Mendesak

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perppu yang dinilai pro pengusaha ini diteken Jokowi pada 30 Desember 2022.

Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan penerbitan Perppu 2 tahun 2022 tersebut murni karena alasan medesak sebagaimana putusan MK Nomor 138/PUU/VII/2009.

“Karena ada kebutuhan yang mendesak ya kegentingan memaksa untuk bisa menyelesaikan masalah hukum secara cepat,” kata Mahfud di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Mahfud menjelaskan terdapat 3 alasan penerbitan Perppu dalam putusan tersebut, yakni mendesak, ada kekosongan hukum maupun upaya memberikan kepastian hukum. Tiga alasan tersebut dinilai cukup untuk menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2022.

"Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak seperti tadi disampaikan oleh Bapak Menko Perekonomian yaitu misalnya dampak perang Ukraina ya yang secara global maupun nasional mempengaruhi negara-negara lain termasuk Indonesia," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud pemerintah perlu mengambil langkah cepat dan strategis untuk mengantisipasi potensi ancaman inflasi, ancaman stagflasi, krisis multisektor, masalah suku bunga, kondisi geopolitik serta krisis pangan.

Langkah strategis tersebut tidak bisa menunggu perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan Mahkamah Konstitusi pada 25 November lalu.

"Oleh sebab itu langkah strategis diperlukan dan untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan maka Perppu ini harus dikeluarkan lebih dulu Itulah sebabnya kemudian hari ini tanggal 30 Desember tahun 2022, Presiden sudah menandatangani Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta kerja," pungkas Mahfud.

UU Cipta Kerja Cacat Formil

Dikutip dari mkri.id, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu dibacakan dalam sidang putusan yang digelar pada Kamis (25/11/2021) siang.

Dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.

“Menyatakan  pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini,” ucap Anwar yang dalam kesempatan itu didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.

Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.***