HELENA sangat bersyukur karena menerima hidayah dari Allah SWT. Wanita Swedia ini memutuskan bersyahadat setelah semua pertanyaan ilmiahnya terjawab usai membaca buku ''The Bible, The Quran and Science''.

Helena berkisah, meski lahir dan besar di tengah keluarga Kristen, namun kenyataannya keluarganya tidak beragama. Ia tidak pernah mendengar nama Tuhan diucapkan di keluarganya dan ia tidak pernah melihat siapa pun berdoa. Helena justru merasa sejak awal satu-satunya alasan melakukan sesuatu adalah menguntungkan diri sendiri.

''Kami merayakan Natal, Paskah, dan pertengahan musim panas, serta Hari Semua Orang Kudus dan bahkan saya tidak pernah tahu mengapa. Saya tidak pernah mempertanyakannya. Itu bagian dari menjadi orang Swedia,'' kata Helena, seperti dikutip dari Republika.co.id yang melansir artikel di Muslim Library, Kamis (16/7).

Sebagai seorang Kristen Protestan, pada usia sekitar 15 tahun ia melakukan pengakuan iman atau disebut dengan konfirmasi (sidi). Penganutnya diharuskan mengikuti kelas belajar tentang agama dan kemudian mengonfirmasi keyakinannya.

Helena mengaku ia ingin melakukannya untuk belajar tentang Kekristenan. Karena itu, ia mendaftar untuk perkemahan tiga pekan yang merupakan gabungan perkemahan konfirmasi dan golf. 

Di pagi hari, mereka mengikuti kelas dengan seorang pendeta tua. Namun, Helena justru mengaku pikirannya berkelana ke pertandingan golf yang akan datang. Sehingga, ia tidak mempelajari apa pun dari kesempatan tersebut.

Selama masa sekolah menengah, agama tidak pernah muncul di benak Helena. Ia merasa bisa melakukan apa pun yang ia pikirkan. 

Bahkan, kala itu ia berpandangan agama hanya alasan untuk bersembunyi dari kenyataan. Ia memiliki pandangan demikian lantaran setiap orang yang ia kenal yang dipandangnya religius, menemukan cahaya setelah mereka mengalami depresi atau sangat sakit dan mereka kemudian berkata membutuhkan Yesus dalam hidup mereka.

Sebelumnya, Helena selalu menganggap agama bertentangan dengan sains.

Helena mulai berpikir tentang arti hidup saat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Ia mengaku merasa kesulitan menerima agama apa pun lantaran semua perang dan masalah terkait dengan agama.

Karena itulah, ia membuat filosofinya sendiri. Helena yakin suatu bentuk kekuatan menciptakan segalanya. Akan tetapi, saat itu ia tidak dapat mengatakan itu adalah Tuhan.

Baginya kala itu, Tuhan adalah gambaran Kristen tentang seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang. Namun, ia tahu seorang lelaki tua tidak mungkin menciptakan alam semesta.

Helena juga percaya pada kehidupan setelah kematian. Namun, ia tidak meyakini keadilan akan ditegakkan. Helena juga percaya bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan.

''Karena latar belakang dan sekolah saya, saya tertipu untuk mempercayai teori Darwin, karena itu diajarkan sebagai fakta. Semakin saya memikirkan arti hidup, saya menjadi semakin tertekan, dan saya merasa hidup ini seperti penjara. Saya kehilangan sebagian besar gairah saya untuk hidup,'' ujarnya.

Ketika di sekolah, ia mengaku tertarik dan mengetahui banyak tentang agama Budha dan Hindu. Mereka mempelajarinya secara rinci tentang cara berpikir dan beribadah agama tersebut. Kala itu, Helena tidak mengetahui apa-apa tentang Islam.

Namun, ia ingat di buku pelajaran agama di sekolah menengahnya menunjukkan bagaimana umat Islam beribadah. Tetapi saat itu ia tidak mempelajari agama Islam. 

Helena justru disuapi dengan semua propaganda melalui media massa dan diyakinkan semua pria Muslim menekan istri mereka dan memukul anak-anak mereka. Kala itu, ia berpikiran Muslim itu kasar dan tidak ragu membunuh.

Di tahun terakhir kuliahnya, ia memiliki hasrat besar terhadap sains dan bersiap memasuki dunia kerja. Saat itu, karier internasional atau setidaknya beberapa pengalaman internasional dibutuhkan untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya. Ia sekaligus ingin mengambil manfaat lebih dari rekan kerja lainnya.

Helena tiba di Boston, Amerika Serikat, dan dihadapkan dengan empat Muslim. Saat itu, ia tidak mengetahui siapa Muhammad dan tidak pula tahu Allah adalah tuhan yang sama dengan 'Tuhan'. 

Merasa penasaran, Helena mulai bertanya dan membaca buku-buku. Ia juga bersosialisasi dengan orang Muslim.

Sebelumnya, ia tidak pernah memiliki teman dari negara lain dan apalagi agama lain. Semua orang yang dia kenal adalah orang Swedia. 

Meski begitu, Helena mengungkapkan orang-orang Muslim yang ia temui adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka secara terbuka menerima Helena dan tidak pernah memaksanya. Bahkan, diakuinya mereka lebih murah hati kepadanya ketimbang keluarganya sendiri.

''Islam tampaknya merupakan sistem kehidupan yang baik dan saya mengakui struktur dan stabilitas yang ada dalam Islam, tetapi saya tidak yakin itu untuk saya. Salah satu masalah saya adalah sains bertentangan dengan agama (setidaknya dari apa yang saya ketahui tentang agama Kristen),'' ujarnya.

Helena lantas membaca buku berjudul ''The Bible, The Quran and Science'' yang ditulis oleh Dr Maurice Bucaille. Maurice Bucaille adalah dokter ahli bedah asal Prancis yang memutuskan masuk Islam setelah meneliti mumi Firaun.

Semua pertanyaan ilmiahnya akhirnya terjawab. Ia merasa senang karena ternyata agama sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi, saat itu Islam masih belum benar-benar menyentuh hatinya.

Agama yang baru dipelajarinya itu semakin membuatnya penasaran. Helena terus memikirkan semua hal baru yang dipelajarinya. Seiring waktu, hatinya melembut dan ia mencoba membayangkan kehidupan sebagai seorang Muslim.

Dalam pandangannya, ia melihat kehidupan yang rendah hati dan penuh dengan kejujuran, kedermawanan, ketenangan, kedamaian, rasa penghargaan dan kebaikan. Yang paling penting, ia melihat sebuah kehidupan yang bermakna. Helena menyadari manusia pada dasarnya kecil dan ada Tuhan yang Mahakuat.

''Saya tahu saya harus melepaskan ego saya dan merendahkan diri di hadapan sesuatu yang jauh lebih kuat daripada diri saya sendiri,'' ujarnya.

Helena mengungkapkan, ia dihadapkan pada dua kali pertanyaan tentang apa yang membuatnya sulit menjadi Muslim. Awalnya, ia panik dan tidak bisa memberikan jawaban. Namun di lain waktu, ia mencoba memikirkan sejumlah alasan.

''Namun tidak ada satu pun alasan, sehingga saya akhirnya mengucapkan syahadat, Alhamdulillah,'' katanya.***