PEKANBARU – Pemerintah telah memutuskan kebijakan pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng untuk memastikan ketersediaan minyak goreng di dalam negeri. Pernyataan itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (22/4/2022) kemarin.

Kebijakan penghentian atau moratorium eksport CPO ini menimbulkan banyak tanda tanya dan kekhawatiran para petani sawit dan pekebun. Apakah hal itu berpengaruh terhadap harga tandan buah segar (TBS) produksi pekebun?

Kepala Bidang (Kabid) Pengolahan dan Pemasaran, Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Riau, Defris Hatmaja mengatakan bahwa dalam penetapan Harga TBS, regulasi yang mengatur penetapan harga TBS tersebut adalah Permentan 01/2018, khusus Provinsi Riau telah diatur secara teknis operasional dalam Pergub Riau Nomor 77/2020 tentang Tata Niaga TBS produksi pekebun Riau.

"Di dalam penetapan harga TBS telah diatur Permentan dan Pergub Riau dipengaruhi oleh Indeks K dan harga CPO, serta harga PKO (kernel) dunia. Untuk Indonesia, kita mempedomani harga lelang di KPBN Jakarta, lelang di KPBN berdasarkan harga CPO/PKO di pasar dunia," kata Defris, Sabtu (23/4/2022).

Menurutnya, Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia tentu akan berkontribusi besar terhadap ketersediaan CPO di pasar dunia dan harga CPO dunia tentu akan terpengaruh dari ketersediaan bahan baku minyak goreng tersebut. Artinya hukum demand dan supply akan berlaku, jika harga CPO dunia naik, tentu akan berdampak terhadap naiknya harga TBS pekebun. Begitu juga sebaliknya, karena penetapan harga TBS sesuai regulasi mengacu kepada harga CPO/PKO dunia.

"Artinya semakin tinggi harga cpo dan harga kernel serta Indek K, maka harga TBS akan semakin meningkat, demikian juga sebaliknya. Harga CPO dan harga kernel sendiri tergantung harga perdagangan dunia di pasar internasional," jelasnya.

Terkait kekhawatiran moratorium eksport CPO akan mengakibatkan over supply bahan baku TBS sawit produksi pekebun di dalam negeri yang dikhawatirkan berdampak terhadap anjloknya harga TBS produksi pekebun karena tidak laku dijual kepabrik PKS hingga menjadi busuk dan menimbulkan kerugian bagi petani, mungkin saja akan terjadi pada pekebun mandiri/swadaya yang belum mau untuk berkelompok/ berlembaga.

Sebenarnya sudah ada solusinya melalui regulasi Permentan 01/2018 dan Riau telah mengatur itu melalui Peraturan Gubernur Riau Nomor 77/2020 tentang Tata Niaga TBS. Adapun substansi dan solusi dari kedua regulasi tersebut adalah melalui fasilitasi kemitraan antara Kelembagaan tani dangan Pabrik kelapa sawit, Rukun wajibnya harus tergabung dalam kelompok tani/mempunyai kelembagaan Tani, artinya dgn kemitraan yang dibangun tersebut akan memberi kepastian pasar bagi petani/kelembagaan tani dalam menjual buah TBS mereka.

Sedangkan, bagi pihak PKS akan memberikan kepastian pasokan bahan baku TBS sesuai dengan kapasitas terpasang di pabrik mereka, khususnya PKS Non Kebun yang diikat dalam sebuah perjanjian kerjasama (MoU/SPK) yang difasilitasi oleh dinas yang membidangi perkebunan.

"Kami menghimbau mari petani sawit kita untuk mau dan segera berlembaga/berkelompok KUD, Kelompok Tani, Gapoktan. Agar bisa kita mitrakan dengan PKS terdekat di areal kebun mereka, agar terlindungi dan mendapatkan harga yang berkeadilan. Serta tidak akan berdampak seperti yang dikhawatirkan pekebun non mitra karena kebijakan moratorium tersebut," jelasnya. ***