JAKARTA - Kabar buruk bari perokok karena ''dunia gelap'' ternyata tidak hanya terjadi karena krisis global, tapi juga karena akan melambungnya harga rokok pada tahun 2023 dan 2024. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, tingginya konsumsi rokok memberikan dampak negatif yang serius bagi rumah tangga.

''Dari kenaikan cukai hasil tembakau selama ini, memang didesain untuk menciptakan harga per bungkus, indeks kemahalan (rokok) bisa dipertahankan atau sedikit meningkat,” ujar Sri Mulyani saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI, Senin (12/12/2022).

Pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Adapun kenaikan tarif juga berlaku cukai elektrik sebesar 15 persen selama lima tahun ke depan.

“Meskipun produksi rokok kita menurun karena adanya cukai, namun serapan tembakau lokal mengalami kenaikan. Dalam lima tahun terakhir, produktivitas tembakau didorong luas area meningkat 239.207 hektare,” ucapnya.

Sri Mulyani mencatat realisasi penerimaan cukai tembakau meningkat selama lima tahun terakhir. Pada 2022, penerimaan tarif cukai tembakau sebesar Rp 216 triliun atau naik dari 2021 sebesar Rp 188 triliun.

"Pada 2021 dan 2022, kita desain (tarif cukai) level yang relatif normal, mempertimbangkan inflasi terutama menjaga sisi konsumsi rokok, penerimaan negara, target APBN dan dari sisi tenaga kerja serta petani," ucapnya.

Berdasarkan data Susenas Maret 2022 BPS, rokok merupakan komponen pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua. Di perkotaan komponennya sebesar 12,21 persen sedangkan di pedesaan sebesar 11,63 persen. Sehingga, kata Sri Mulyani, kenaikan tarif cukai rokok penting untuk menekan prevalensi atau tingkat konsumsi rokok.

“Tingginya konsumsi rokok ini dilema bagaimana agar bisa memegaruhi konsumsi rumah tangga," ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, tingginya konsumsi rokok memberikan dampak negatif yang serius bagi rumah tangga. Sebab, semakin banyak konsumsi rokok maka alokasi belanja lainnya akan berkurang.

“Kenaikan cukai rokok agar lebih memprioritaskan barang-barang yang lebih bergizi, terutama dibutuhkan oleh anak-anak, sehingga mereka bisa lebih sehat dan lebih baik,” ucapnya.

BPS mencatat rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp 246.382 per bulan khusus belanja rokok. Padahal, uang itu dapat digunakan belanja bahan pangan bergizi, sehingga kualitas rumah tangga bisa lebih baik. ***