JAKARTA - Ketua Asosisi Profesor Keolahragaan Indonesia (Apkori), Prof Djoko Pekik Irianto merasa prihatin dengan adanya tuduhan delapan pemain bulutangkis Indonesia terlibat dalam pengaturan skor (match fixing). Makanya, dia meminta PBSI mengurus tuntas kasus yang telah mencederai jiwa sportivitas.

"Saya prihatin dan menyesalkan terjadinya match fixing. PP PBSI harus mengurus tuntas dan menindak semua pihak yang terlibat dalam pengaturan skor itu," kata Djoko Pekik Irianto dalam siaran persnya yang diterima Gonews.co Group, Senin (11/1/2021).

Mantan Deputi IV Kemenpora ini mengapresisasi tindakan Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) yang telah mengambil tindakan tegas terhadap pemain yang terlibat pengaturan skor. "Saya apresiasi tindakan yang diambil BWF," tegasnya.

Untuk mengatasi masalah pengaturan skor dalam bulutangkis, Djoko Pekik memberikan solusi dengan merevitalisasi pembinaan mulai dari klub, diklat hingga pemusatan latihan nasional (pelatnas).

Selain itu, dia juga mengusulkan reorientasi proses pelatihan dengan menekankan total training, tidak hanya pelatihan fisik, teknik, taktik dan mental. Namun juga menyangkut pelatihan attitude dan karakter.

"Pelatih juga harus menanamkan life education kepada semua atlet (manajamen diri, moral, etik dan value). Dan, PP PBSI perlu melakukan coaching education pada semua atlet dan pelatih," katanya.

Terlepas dari hal-hal tersebut, Djoko Pekik menyarankan agar PBSI memgambil langkah bijak terhadap 8 atlet terkena sanksi. Misalnya, menerapkan therapy psikolgis.

Sehubungan adanya kasus match fixing itu, Wakil Sekjen PP PBSI, Eddy Sukarno telah menerima tiga dari delapan pemain yang terlibat dalam kasus pengaturan skor di Pelatnas Bulutangkis Indonesia di Cipayung, Jakarta Timur, Senin (11/1/2021).

Tiga pemain yang datang tersebut adalah Agripinna Prima Rahmanto Putra, Mia Mawarti, dan Putri Sekartaji. Sementara lima pemain lain yang dihukum adalah Hendra Tandjaya, Ivandi Danang, Androw Yunanto, Afni Fadilah, dan Aditya Dwiantoro.

Dua dari tiga pemain tersebut, yaitu Agripinna dan Mia akhirnya memilih mengajukan banding ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) di Swiss. Mereka banding karena merasa tidak bersalah melakukan rekayasa hasil pertandingan atau berjudi. Sementara Putri Sekartaji tidak melakukan banding dan menerima hukuman, meski duhukum 12 tahun skorsing dan denda 12.000 dolar AS.

"Mereka masih sebagai warga PBSI, maka ketika mereka meminta bantuan dan perlindungan, tentu kita bantu dan dampingi," kata Eddy dalam keterangan di WA Grup PBSI.

Memori banding tersebut, menurut Eddy, setelah ditandatangani pemain akan segera dikirim. Hal ini sebagai bentuk bahwa PBSI tidak lepas tangan terhadap warganya yang tengah terlilit kasus. ***