JAKARTA - Selama kurang lebih delapan tahun berpasangan, Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir telah melewati masa-masa sulit maupun masa kejayaan. Suka duka telah dilalui bersama, namun banyak yang tak tahu kalau kedua pemain ini ternyata cukup kompak, baik di luar maupun di dalam lapangan.

Hal pertama yang disebut Liliyana ketika ditanya soal sosok Tontowi adalah sabar. Kesabaran Tontowi ternyata berbuah manis. Bukan hal mudah tiba-tiba dipasangkan dengan Liliyana yang sudah punya nama, Tontowi juga harus beradaptasi dengan karakter Liliyana yang tegas.

Sang pelatih, Richard Mainaky, mengatakan bahwa ia dan Liliyana sesama orang Timur, memang punya cara bicara yang tegas dan kadang keras, namun tidak bermaksud marah. Meski sempat butuh waktu beradaptasi, dikatakan Liliyana dan Richard, Tontowi akhirnya bisa melewati masa-masa tersebut sehingga ia bisa mengembalikan fokusnya.

"Owi (Tontowi) itu sabar. Mungkin selama pasangan sama dia, saya tempramental tapi dalam arti positif, saya nggak mau kalah. Saya terbawa suasana kalau (pukulan) dia nyangkut atau apa, saya menunjukkan ekspresi kecewa," kata Liliyana kepada badmintonindonesia.org.

"Nah Owi selama ini bisa sabar, dia sudah paham, cik Butet nggak maksud kayak gitu, spontan aja karena sama-sama pengin menang. Mungkin nggak semua atlet dan partner bisa seperti Owi yang bisa nyesuain dengan keadaan," lanjutnya.

Liliyana mengatakan bahwa banyak orang bertanya kepada Tontowi bagaimana rasanya jika dimarahi olehnya di lapangan? Liliyana menambahkan bahwa di luar hal itu, selama berpasangan bersama Tontowi, mereka sangat solid.

"Selama ini di luar orang lihat cik Butet gimana ke Owi, tapi di luar itu kami kompak, sering ngobrol, bahas permainan. Apapun hasil yang kami dapat, kami pasti evaluasi, nggak diem-dieman, ini resep ampuh buat pemain ganda," ungkap Liliyana.

"Pemain ganda itu yang penting komunikasi, jangan saling menyalahkan, wajar kalau orang emosi habis kalah, tapi dikomunikasikan ke pasangan main, tadi apa kurangnya dari kita berdua? Dari saya apa dari dia apa?" lanjut Liliyana.

Bergelimang gelar dan prestasi tak didapat Tontowi/Liliyana semudah membalikkan telapak tangan. Liliyana bercerita tentang beratnya menyelesaikan ketegangan yang pernah terjadi dengan Tontowi. Kegagalan total tanpa medali di Olimpiade London 2012 ternyata bukanlah saat terberat bagi mantan penghuni tahta rangking satu dunia tersebut.

Tetapi merangkak dari keterpurukan minim gelar di tahun 2015 dan awal 2016 menjadi tantangan terberat bagi Tontowi/Liliyana. Bahkan Liliyana menggambarkan hubungannya dan pasangan mainnya tersebut dengan istilah gersang.

"Waktu itu ekspektasi orang tinggi, dan kami lagi terpuruk sekali cuma dapat satu gelar juara sebelum olimpiade. Owi nggak marah sih sama saya, saya juga enggak, tapi gimana ya namanya pemain dapat hasil jelek itu situasinya nggak ribut tapi nggak akur juga, ha ha ha susah menjelaskannya. Damai tapi gersang, kayak lagi perang dingin," kenang Liliyana.

Bahkan Tontowi/Liliyana sempat merasa terintimidasi dengan hasil gemilang yang diraih junior mereka, Praveen Jordan/Debby Susanto di ajang All England 2016, beberapa bulan sebelum olimpiade.

"Waktu itu kami berpikir apa posisi kami sudah terganti ya sama Praveen/Debby? Ya namanya persaingan, akhirnya saya dan Owi sama-sama nurunin ego, saya kontrol emosi, Owi nggak sensitif lagi, begini pun sebetulnya nggak menjamin kami jadi juara, tapi setidaknya kami berdua jauh merasa lebih baik," kata Liliyana.

Sifat cuek yang dimiliki Tontowi disebut Liliyana merupakan salah satu hal yang membuat Tontowi bisa mengatasi keadaan sulit. Masih terkenang di ingatan Liliyana betapa beratnya latihan yang diberikan sang pelatih kepada Tontowi jelang olimpiade.

"Owi itu di luar lapangan cuek dan nggak pernah mengeluh padahal latihan dia berat banget. Tapi dia jalani dengan komitmen. Terlihat dari persiapan kami sebelum olimpiade, dapat emas itu dari yang awalnya seperti tidak mungkin, tapi terbukti bisa terwujud. Saya ingat dia sampai bela-belain nggak pulang ke rumah dan tinggal di asrama demi jaga kondisi dan fokus ke olimpiade," cerita Liliyana.

Liliyana sebagai senior pun selalu berusaha untuk bersikap fair kepada Tontowi. Ia pernah secara blak-blakan pada Tontowi untuk menegurnya jika ada hal yang tidak disukai atau tidak berkenan di hati Tontowi. Di beberapa sesi wawancara bersama media, tak jarang Liliyana mengakui permainannya sedang tidak maksimal dan ia memuji Tontowi yang mampu menutupi celah tersebut sehingga mereka tetap bisa merebut kemenangan.

"Memang saya lebih senior, tapi namanya senior kan nggak luput dari kesalahan. Owi boleh kok bilang, kayaknya cik Butet terlalu neken saya deh. Kalau saya 'mati-mati' di lapangan, cik Butet dukung saja dulu ya. Sampai begitu, dan komunikasi ini berhasil di kami," jelas Liliyana.

Masih mengenang masa-masa pengorbanannya dan Tontowi sebelum olimpiade, Liliyana mengatakan bahwa jadi atlet tahan banting itu perlu. Sewaktu mengikuti program olimpiade yang sangat berat, apalagi di usianya yang tidak muda lagi, kedua pemain ini tidak terlalu memusingkan kendala kecil yang mereka hadapi.

"Dulu itu kalau badan pegal, anget sedikit, otot ketarik sedikit atau kalau perempuan ada sakit perut saat berhalangan. Itu saya hajar semua, sakit sedikit tahan saja, kecuali kalau cedera, baru perlu bantuan medis. Tapi kalau sakit sedikit ya tahan, nanti lama-lama hilang sendiri. Makanya kalau sampai nggak latihan, berarti badan saya sudah benar-benar nggak bisa bangun," beber Liliyana.

Sifat disiplin dan berkemauan kuat yang dimiliki Liliyana ternyata menular ke Tontowi. Hal ini pun diakui Tontowi yang banyak belajar dari Liliyana, ia menjadi figur atlet yang selalu haus akan gelar juara.

Mundurnya Tontowi dinilai Liliyana membuat tim ganda campuran pelatnas tentu kehilangan satu figur teladan. Liliyana berharap pemain-pemain muda dapat mencontoh kerja keras Tontowi yang telah membuahkan hasil. Liliyana juga menilai Tontowi cukup terbuka menerima kekalahan dan mau introspeksi diri, inilah yang membuat Liliyana bisa mengandalkan pasangan mainnya tersebut. ***