PEKANBARU - Gerakan Mahasiswa Bela Rakyat (Gembara) menolak pengesahan Ranperda RTRW Provinsi Riau yang disahkan tiga hari lalu oleh DPRD Riau. Mereka menduga, proses penyusunan dan pembahasan RTRW tidak transparan dan tidak berkeadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup.

Rencananya, gerakan mahasiswa ini pun akan menggelar aksi penolakan RTRW pukul 11.00 wib di Tugu Zapin, Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru, Kamis (28/9/2017).

Koordinator Aksi Gembara, Hendro Mulyono, mengatakan, Ranperda RTRW Provinsi Riau dinilai hanya berpihak pada kepentingan ekonomi semata. Yang mana, dari 9 juta hektare luas lahan yang disepakati pada Ranperda RTRW, ada sekitar 8 juta hektare lebih merupakan fungsi budidaya.

"Jika semua jadi budidaya, ini sangat tidak adil. Di mana kawasan untuk masyarakat di daerah, masyarakat adat yang bergantung pada hutan?” ungkap Hendro Mulyono kepada GoRiau.com di Pekanbaru, Kamis siang.

Menurutnya, dominasi kawasan budidaya semakin terasa tidak adil dibanding luasan kawasan lindung gambut yang hanya 21 ribu hektare. Padahal luas gambut di Riau mencapai 5 juta hektare.

"Ini sama dengan penghancuran gambut di Riau. Karena kepentingan investasi, DPRD Riau melupakan gambut sebagai kawasan yang mudah rusak dan harus dilindungi," kata Hendro.

Jika 5 juta hektare kawasan gambut di Riau dijadikan budidaya hanya akan menguntungkan korporasi karena mereka yang mampu mengelola gambut, tapi akibatnya akan ditanggung rakyat kecil.

"DPRD Riau membuat korporasi menikmati keuntungan, dan rakyat yang menderita,” ungkapnya lagi.

Mereka menduga, Pansus RTRW Provinsi Riau yang dibentuk oleh DPRD Riau tidak pernah melakukan uji publik kepada masyarakat dan melakukan uji publik, bahkan anggota pansus mengatakan bahwa Draft RTRWP tidak bisa dibuka sebelum disahkan.

"Ini jelas tidak sesuai dengan semangat keterbukaan informasi publik, dimana semua data dan informasi yang dihasilkan dari uang rakyat wajib untuk dibuka,” Ucapnya.

Proses yang tidak transparan tersebut menyebabkan masyarakat, mahasiswa tidak bisa melakukan kontrol dan memberikan masukan saat penyusunan RTRW dan rawan akan terjadiya tindak pidana korupsi dengan para pemilik kepentingan akan lahan, seperti korupsi yang dilakukan oleh mantan Gubernur, Annas Maamun. Selain itu proses yang tidak transparan diduga kuat menjadi penyebab lahirnya ranperda yang tidak berkeadilan ini.

“Kami meminta Kementerian dalam negeri tidak menyetujui Ranperda RTRWP Riau karena tidak transparan dan tidak memberikan ruang bagi masyarakat sebagai penerima manfaat tata ruang untuk memberikan masukan. Kami juga meminta aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan adanya praktek korupsi dalam penyusunan dan pembahasan Ranperda RTRW Provinsi Riau yang tidak transparan oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau,” tutupnya.