JAKARTA, GORIAU.COM - Keputusan sela yang diambil majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan permohonan Golkar kubu Aburizal Bakrie, hanya  makin memperuncing konflik dengan kubu Agung Laksono. Dan, insiden perebutan ruangan Fraksi Golkar di DPR beberapa hari lalu, menjadi penegas bahwa kedua kubu lebih mementingkan kelompok daripada menjaga soliditas dan asa partai. Padahal, Golkar dihadapkan pada sejumlah agenda politik, seperti Pilkada dan sejumlah kontestasi politik lainnya.

''Akrobat dan manuver politik tersebut makin menjauhkan kemungkinan Partai Golkar untuk bisa mencalonkan kader terbaiknya untuk maju dalam Pilkada,'' kata Muradi staf pengajar politik dan pemerintahan, Universitas Padjadjaran, Bandung, di Jakarta, Kamis 2 April 2015.

Kian rumit lagi kata Muradi, manakala KPU menegaskan bahwa kubu yang dapat mencalonkan kadernya tergantung pada Kementerian Hukum dan HAM. Terlepas dari dua kubu yang sedang bertikai, Golkar akan mengalami kerugian besar, bila tak bisa mencalonkan kader terbaiknya di Pilkada serentak.

''Karena itu butuh langkah dan menurunkan tensi politik agar bisa duduk bersama dan membicarakan yang terbaik bagi Golkar,'' kata Muradi.

Sebab bila bergantung hanya pada kebijakan dan keputusan Kementerian Hukum, Golkar akan kehilangan soliditas dan kekuatan politiknya. Karena itu dibutuhkan langkah-langkah untuk menemukan kata sepakat. Setidaknya kata sepakat untuk mewakili Golkar dalam Pilkada di sejumlah daerah.

''Ada tiga pilihan bagi kedua kubu untuk bersepakat, yakni pertama, inisiatif dari kedua kubu untuk berembug untuk menyepakati kepengurusan persatuan. Sehingga ada share kekuasaan dan posisi yang berimbang antar dua kubu," kata Muradi.

Langkah kedua, dua kubu bisa meminta mediasi dari figur yang netral dan dihormati misalnya BJ. Habibie atau yang lainnya. Mediasi ini bisa menghasilkan solusi jangka pendek terbatas, setidaknya untuk kepentingan Pilkada atau hingga pelaksanaan Munas bersama. Ketiga, meminta otoritas politik seperti Kementerian Hukum dan KPU memutuskan kubu mana yang dapat maju dalam Pilkada.

''Bisa saja hal ini disepakati masing-masing kubu bersepakat berdasarkan pada zonaisasi atau berbasis pada jumlah provinsi dan kabupaten/kota,'' ujar Muradi.

Dan yang tak kalah penting kata Muradi, kedua kubu bersepakat tak melibatkan pihak eksternal seperti KMP atau juga figur politik yang tak. Karena itu hanya makin membuat suasana kian tegang. Serta hal tersebut tidak menuntaskan permasalahan. (pri)