HARI Senin, tepatnya tanggal 22 Februari 2016, Pemerintah dan DPR bersepakat menunda revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penundaan ini disepakati dalam forum rapat konsultasi di Istana Negara, untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai substansi revisi yang dianggap banyak kalangan dapat melemahkan KPK itu.

Pimpinan DPR sepakat dengan keputusan Jokowi. Pembahasan revisi UU KPK ditunda, tetapi tidak dikeluarkan dari program legislasi nasional DPR RI. Dengan dalih agar mekanisme kenegaraan berjalan baik, DPR menyepakati penundaan tersebut.

Setelah ini, pemerintah dan DPR akan bersama-sama mensosialisasikan rencana merevisi UU KPK. Kedua pihak sama-sama mengklaim revisi ini dilakukan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.

Masa sosialisasi tidak ditentukan waktunya. Pemerintah ingin menciptakan dialog, khususnya dengan kelompok masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menuturkan, publik keliru menilai rencana revisi UU KPK karena kesimpangsiuran informasi. Ia menegaskan, tidak ada niat melemahkan KPK melalui revisi undang-undang.

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan menilai, karena sejumlah informasi terkait substansi revisi.

Informasi itu di antaranya, terkait umur KPK akan dibatasi selama 12 tahun, KPK hanya berwenang menindak pada kasus dugaan korupsi di atas Rp 50 miliar, dan kewenangan penyadapan KPK harus dengan izin pengadilan.

Menurut Luhut, tidak ada substansi tersebut dalam revisi UU KPK. Ia menegaskan, pembentukan dewan pengawas KPK juga dilakukan untuk mengaudit aktivitas penyadapan yang dilakukan KPK. Luhut memastikan bahwa KPK tidak perlu meminta izin dewan pengawas saat akan melakukan penyadapan.

Menurut Luhut, keberadaan dewan pengawas diperlukan untuk memperkuat kinerja KPK. Penunjukan anggota dewan pengawas dilakukan oleh Presiden.

Terkait rencana memberikan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada KPK, kata Luhut, hal itu juga dilakukan untuk memperkuat penanganan kasus dugaan korupsi. Kewenangan itu hanya dapat digunakan oleh lima komisioner KPK.

Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu, menuturkan, revisi UU KPK akan dibahas kembali saat sosialisasi dianggap cukup meningkatkan pemahaman publik.

Tentunya akan beragam alibi yang akan disampaikan terkait kesepakatan penundaan revisi UU KPK tersebut. Kepekaan pemerintah dan DPR tidak ada sama sekali. Padahal, sejak bergulirnya rencana revisi UU KPK ini, penolakan berdatangan dari berbagai kalangan, baik dari akademisi, pegiat anti korupsi, organisasi kemasyarakatan (Ormas) sampai sikap fraksi di DPR sendiri, seperti Fraksi Gerindra, PKS, dan Fraksi Demokrat.

Lalu pertanyaannya? Kenapa pemerintah dan DPR begitu sulit mengatakan 'menolak' revisi UU KPK. Tentunya masyarakat bertanya-tanya hingga mengaitkan berbagai persoalan lain. Salah satunya tentang pengampunan pajak (tax amnesty).

Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar menengarai ada kesepakatan terselubung antara pemerintah dan DPR di balik rencana dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Zainal, kesepakatan itu berkaitan dengan pembahasan RUU pengampunan pajak (tax amnesty) oleh DPR.

Zainal dalam sebuah diskusi di Utan Kayu, Jakarta, Rabu (17/2) mengungkapkan, revisi UU KPK semula menjadi inisiatif pemerintah dan RUU Tax Amnesty menjadi inisiatif DPR. Namun, saat ini kondisinya terbalik. RUU Tax Amnesty bahkan menjadi inisiatif dan prioritas pemerintah.

Terkait dengan ini, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP membantah jika revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dijadikan alat tukar dengan rancangan undang-undang tentang pengampunan pajak (tax amnesty).

Johan menegaskan, semua pihak memiliki hak untuk menilai. Tapi ia memastikan tidak ada praktik pertukaran undang-undang antara pemerintah dengan DPR.

Benar atau tidaknya, tentunya kita akan melihat dan mendengar apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah pemerintah dan DPR mengambil sikap menolak revisi UU KPK, atau memang ada politik dagang sapi dalam polemik revisi UU KPK. Harapan kita, jangan sampai masalah tidak ada katanya menolak revisi UU KPK, menimbulkan kegaduhan baru di tataran kehidupan berbangsa dan negara. Hal ini terkait tidak ada kepastian sampai kapan penundaan dilakukan.

Yang pastinya, penguatan KPK perlu dilakukan guna memberantas korupsi yang sampai hari ini masih merajalela. Sebagaimana dalam indeks persepsi korupsi 2015 menempatkan Indonesia di posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan level korupsi masih tinggi. Hingga akhir 2014, Indonesia memiliki skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih).

Padahal, menurut Transparency International Indonesia (TII) strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi (Stranas PPK) merupakan salah satu instrumen yang potensial digunakan sebagai panduan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Pasalnya, indikator utama keberhasilan Stranas PPK di tingkat nasional diukur dengan menggunakan Corruption Perception Index (CPI) dan National Integrity System (NIS).

Pada laporan survei indeks persepsi korupsi tahun 2014, dengan skor yang sama, yakni 34, Indonesia berada di posisi 107 dari 174 negara di dunia. Meski terbilang membaik ketimbang skor tahun 2013 (skor 32), namun angka tersebut masih berada di bawah skor rata-rata negara dunia dan ASEAN yang masing-masing di angka 43 dan 39.

Untuk itu, penulis bahkan seluruh lapisan masyarakat di Republik Indonesia memiliki harapan agar revisi UU KPK ditolak, bukan ditunda seperti yang telah disepakati pemerintah-DPR. ***

Amril Jambak adalah peneliti di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia***