ADA empat golongan masyarakat dalam menghadapi pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan calon pemimpin pada umumnya.

Golongan pertama adalah orang-orang yang sudah punya pilihan pasti siapa yang akan dipilihnya. Tidak peduli apakah pilihan itu karena keyakinannya terhadap kelayakan yang akan dipilih-menurutnya--telah memenuhi kriteria sebagai calon pemimpin yang baik, atau karena ada hubungan kekerabatan, pertemanan, perkampungan, atau juga karena pemberian serta iming-iming yang diterimanya dari si calon.

Golongan kedua adalah orang yang sudah punya pendirian pasti tidak akan ikut memilih, karena-menurutnya-tidak ada calon yang memenuhi kriteria sebagai calon pemimpin yang baik. Bagi mereka, memilih pemimpin dari kalangan orang-orang seperti itu sama saja artinya menyerahkan negeri rakyat kepada para penjahat.

Golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak peduli sama sekali apa yang akan diadakan atau apa yang akan terjadi di negeri ini. Apakah mau pemilu, mau pilkada, mau apa saja dia tidak peduli. Yang penting baginya adalah diri dan keluarganya selamat. Ketidakpedulian itu mungkin karena sudah lelah melihat perangai para pemimpin atau pejabat sebelumnya, atau karena memang wataknya yang memang "tidak mau tahu."

Golongan keempat adalah orang-orang yang ragu. Ragu apakah akan ikut memilih, atau ragu mau memilih siapa yang akan dipilih.

Tiga golongan yang disebut pertama adalah kelompok orang yang tidak perlu dibicarakan lagi, karena mereka memang sudah punya pendirian yang pasti. Yang perlu dibantu adalah golongan yang disebut terakhir. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya masih mempunyai kecintaan dan kepedulian yang tinggi kepada negeri, sehingga tetap ingin berpartisipasi dalam menentukan arah pembangunan negeri, walau hanya sekedar memberikan suara dalam pemilihan.

Keraguan mereka mungkin karena dalam padangan dan pengetahuannya tidak ada calon yang benar-benar sesuai dengan apa yang diinginkan, sehingga ragu antara ikut dan tidak ikut dalam memberikan suara, atau mungkin juga karena semua calon yang akan dipilih sama saja kualitasnya, sehingga ragu menentukan pilihan, siapa yang akan dipilih.

Hal terpenting--sebelum menjawab pertanyaan di atas--yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah bahwa jawaban yang paling benar untuk peranyaan di atas adalah jawaban yang ada dalam wahyu Tuhan, Zat Yang Memiliki semua yang ada, termasuk pemilik manusia. Oleh karenanya, tidak ada pesan apa pun yang dibawa oleh tulisan ini selain mengingatkan agar kita mengembalikan semua persoalan yang dihadapi kepada pesan dari Zat Yang Maha Benar itu, yaitu Allah Swt., sebagai pesan yang mutlak benarnya, dan pasti kebaikannya. Mungkin sudah terlalu lama kita abai dengan pesan-pesan Allah dalam arti yang sebenarnya, sehingga terjebak dengan pesan-pesan "sponsor" untung rugi keduniaan yang sangat sarat dengan bisikan setan, lalu terjebak kejurang kebinasaan, karena setan memang tidak akan pernah membawa manusia ke ranah kebaikan, kapan dan di manapun manusia itu berada.

Untuk itu, dalam rangka menjawab pertanyaan di atas, adalah sebuah kewajiban syar'i merenungi firman Allah dalam surat al-Taubah ayat 23-24 yang artinya: "Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak dan saudara-saudaramu sebagai pemimpin jika mereka lebih menyukai keingkaran dari keimanan. Siapa yang menjadikan orang-orang seperti itu sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang zhalim. Katakanlah (hai Muhammad)! Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, sanak keluargamu, dan harta kekayaanmu lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah hukuman Allah. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang fasik."

Paling tidak ada tiga pesan terpenting dalam ayat tersebut: Pertama, yang akan dipilih menjadi pemimpin adalah orang yang konsisten dengan keimanannya, sehingga segala prilaku dan kebijakan yang akan dilakukan selalu mendahulukan pertimbangan imannya dari pada pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan ia dinilai oleh Allah sebagai orang yang ingkar atau kufur.

Kedua, Allah menyebut orang-orang yang mendahulukan pertimbangan hubungan darah atau persaudaraan dalam memilih pemimpin, walaupun mereka lebih suka berbuat keingkaran dari pada kebenaran, sebagai orang zhalim.

Ketiga, dalam kajian hukum Islam, kemashlahatan umum termasuk dalam hak Allah. Maka orang-orang-orang yang lebih mendahulukan (baca: mencintai) karib kerabat dan harta kekayaan dari pada kepentingan umum disebut oleh Allah sebagai orang fasik. Orang-orang seperti ini tidak akan diberi petunjuk oleh Allah. Kalau ia menjadi pemimpin, maka ia akan menjadi pemimpin yang tidak akan ditunjuki Allah.

Lalu, kalau bukan dengan petunjuk Allah, dengan petunjuk siapa ia menjalankan kepimimpinannya? Dalam ayat lain dikatakan bahwa sekejap saja kita lupa keada Allah, dalam sekejap itu juga syetan masuk ke dalam hati manusia.

Artinya, petunjuk syetanlah yang akan diikuti oleh pemimpin yang hatinya tidak ditunjukki oleh Allah. Mereka disebut sebagai pemimpin yang fasik. Ia dan orang-orang yang mendukungnya diancam dengan hukum yang keras di kemudian hari.***

Penulis adalah guru besar Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.