JAKARTA, GORIAU.COM - Hadi Poernomo memutuskan meletakkan jabatannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tepat di hari ulang tahunnya ke-67. Di hari yang sama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka kasus pajak BCA.

Hadi lahir di Pamekasan 21 April 1947. Sebelum menjabat sebagai ketua BPK, Hadi menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak sejak tahun 2001. Jabatannya di masa lalu itulah yang membuatnya jadi tersangka. Pada tahun 2009, Hadi didapuk menggantikan Anwar Nasution sebagai ketua BPK.

Informasi yang didapatkan detikcom, seremoni pelepasan jabatan Hadi di BPK memang sengaja dilakukan pada tanggal 21 April yang bertepatan juga dengan hari ultahnya. Seremoni itu dilakukan di auditorium BPK, Gedung Tower BPK Lantai 2, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

"Hari ini, hari terakhir bagi saya di BPK. Saya sudah menjabat 4 tahun 6 bulan," kata Hadi dalam salam perpisahannya di BPK.

Pada kesempatan tersebut, Hadi bercerita tentang pencapaiannya sebagai ketua BPK. Ia berhasil mencetuskan pusat data dan e-audit.

"Saya telah membuat berbagai langkah, khususnya e-audit. Itu dimulai sejak fit and proper test di DPR pada 9 September 2009. Saya menyampaikan pembentukan pusat data dan e-audit," jelasnya.

Jadi Tersangka

Ketua KPK Abraham Samad, Senin, mengungkapkan, penyidik KPK telah menetapkan Ketua BPK Hadi Poernomo menjadi tersangka kasus permohonan pajak BCA.

"KPK menemukan bukti dan fakta akurat, KPK mengadakan forum ekspose, bersepakat menetapkan saudara HP," kata Ketua KPK Abraham Samad saat jumpa pers di kantornya, Jl HR Rasuna Said, Jaksel.

Hadi Poernomo dijadikan tersangka bukan saat menjabat sebagai Ketua BPK. Melainkan saat dia duduk manis di kursi Dirjen Pajak di Kemenkeu. "Selaku Dirjen Pajak periode 2002-2004," tandasnya.

Dalam jumpa pers Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebutkan kalau dugaan penyalahgunaan uang negara dalam kasus ini mencapai Rp375 miliar.

"Ditingkatkannya sebuah kasus dari tahapan penyelidikan naik ke penyidikan," kata Samad.

Samad menuturkan, duduk perkara kasus pidana yang dilakukan. Kasus ini terjadi sekitar tahun 12 Juli 2003. PT BCA Tbk saat itu mengajukan surat keterangan pajak transaksi non performance loan senilai Rp5,7 triliun kepada direktorat PPH.

"Setelah surat itu diterima PPH, dilakukan kajian lebih dalam untuk bisa ambil satu kesimpulan dan hasil pendalaman, kurang lebih 1 tahun. Hasil surat keberatan yang diajukan BCA, diterima PPH, dikaji setahun. Pada 13 Maret 2004, Direktur PPH memberi surat pengantar risalah keberatan ke Dirjen Pajak yang berisi hasil telaah," jelas Samad

Nah, hasil telaah itu, berupa kesimpulan bahwa permohonan wajib pajak BCA ditolak. Satu hari sblm jatuh tempo untuk memberi keputusan final kepada BCA pada 15 Juli 2004, Hadi selaku Dirjen Pajak justru memerintahkan keputusan yang bertolak belakang dengan hasil kajian.

"Dia perintahkan kepada Dirjen PPH dalam nota dinas tersebut dituliskan bahwa agar supaya mengubah kesimpulan. Agar menerima seluruh keberatan. Di situlah peran Dirjen Pajak. Surat ketetapan pajak nihil. Yang memutuskan menerima seluruh keberatan wajib pajak. Sehingga tidak ada waktu Direktorat PPH untuk memberikan tanggapan yang berbeda," urai Samad.

Kemudian, surat risalah dikirim ulang dan nota dinas Dirjen Pajak juga dikirim ulang.

"Selanjutnya, saudara HP selaku Dirjen Pajak, dan sekarang Ketua BPK mengabaikan adanya fakta materi keberatan sama BCA dengan bank lain. Ada bank lain yang punya permasalahan sama tapi ditolak tapi dalam kasus BCA, keberatannya diterima. Di sinilah duduk persoalannya. Oleh karena itu KPK temukan fakta dan bukti yang akurat dan berdasarkan itu, KPK adakan forum ekspos dengan Satgas Lidik dan seluruh pimpinan KPK sepakat menetapkan saudara HP selaku Dirjen Pajak 2002-2004 dan kawan-kawan dalam ketentuan UU Tipikor pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 jo pasal 55 ayat 1 ke-1," tutup Samad.***