''TERIMA KASIH BAGI YANG TIDAK BUANG SAMPAH DISINI''

''DILARANG KERAS BUANG SAMPAH DI SINI''

''HANYA BINATANG YANG BUANG SAMPAH DISINI''

Begitulah tulisan yang sering kita temukan di kota-kota di Indonesia, mulai dari tulisan yang sopan sampai yang kasar. Bahkan mungkin tulisan seperti itu juga ada di wilayah-wilayah pedesaan.

Tulisan-tulisan tersebut merupakan ekspresi kekesalan warga atas tumpukan sampah di lokasi yang dekat dengan tempat tinggal mereka, atau di jalan-jalan umum yang dilewati banyak warga.

Terkadang kita temukan ada lokasi atau ruas jalan yang awal mulanya bersih, tiba-tiba beberapa hari kemudian ada satu dua kantong sampah yang terletak di lokasi itu, dan beberapa waktu berikutnya tumpukan sampah pun sudah terlihat menggunung.

Bahkan tidak sedikit kasus, di mana tumpukan sampah sampai memakan badan jalan. Tentu tumpukan sampah itu sangat mengganggu, baik mengganggu dari sisi keindahan kota, kesehatan manusia, kesehatan lingkungan, bahkan gangguan terhadap kehidupan sosial.

Dalam perspektif manajemen kota, tentu situasi ini harus menjadi perhatian serius dari pemerintah kota setempat, karena memang salah satu Tupoksi (tugas pokok dan fungsi) dari pemerintah kota seperti diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah memberikan jaminan ketenteraman dan ketertiban bagi warganya. Kebersihan kawasan adalah bagian dari ketenteraman dan ketertiban yang dimaksud.

Manajemen kebersihan kawasan dan lingkungan yang diperankan oleh pemerintah kota tentu dimulai dari pendekatan edukatif, persuasif, preventif dan kuratif.

Dalam praktiknya, di banyak kota di Indonesia, manajemen kebersihan kawasan lebih menonjolkan pendekatan preventif dan kuratif. Hal ini terlihat dari fokus manajemen kebersihan kawasan yang hanya berfokus pada aspek penyediaan lokasi pembuangan sampah, penyediaan tenaga kebersihan, penyediaan alat angkutan sampah, dan aspek-aspek lain yang bersifat preventif dan kuratif.

Tentu saja pendekatan seperti ini tidaklah salah, bahkan harus terus dilakukan dan terus ditingkatkan. Akan tetapi ada satu akar persoalan lain yang tidak bisa tersentuh dengan hanya pendekatan preventif dan kuratif, yaitu persoalan kesadaran dan mind set masyarakat tentang pengelolaan sampah yang mereka produksi, baik di rumah tinggal maupun di luar rumah tinggal.

Mind Set Sebagai Salah Satu Akar Persoalan Sampah

Memahami pentingnya dampak mind set masyarakat terhadap lingkungan secara global, BPS melakukan kegiatan Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup (SPPLH). Sekalipun survei ini terakhir kali dilakukan BPS pada Tahun 2013, akan tetapi hasil dari survei ini masih tetap relevan, karena perilaku merupakan ekspresi dari mind set, dan butuh waktu yang lama untuk mengubah mind set seseorang.

Dalam terminologi ilmiah mind set didefinisikan sebagai kumpulan kepercayaan atau cara berfikir yang mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang (Adi W Gunawan, 2013). Dalam konteks sampah, mind set masyarakat terhadap sampah adalah cara pandang mereka tentang sampah yang dihasilkan, mulai dari cara pengelolaan sampai implikasi nya terhadap lingkungan secara global.

Survei Perilaku Peduli Lingkungan Hidup sendiri adalah survei dengan sampel rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. Dari hasil SPPLH 2013 diketahui bahwa di Indonesia masih cukup besar persentase masyarakat yang membuang sampah secara sembarangan, yaitu sebesar 19,88% dari total rumah tangga di Indonesia.

Persentase ini semakin besar jika ditambah dengan persentase rumah tangga yang membuang sampah di got/laut/sungai yang sebesar 14,16%. Artinya, ada 34,04% rumahtangga yang mengelola sampah yang dihasilkannya dengan cara dibuang sembarangan.

Jika dikonversi secara jumlah, persentase 34,04 rumah tangga yang membuang sampah secara sembarangan ini tentu bukan jumlah yang sedikit. BPS mencatat pada Tahun 2019 ada 68,7 juta rumah tangga di Indonesia. Artinya, ada 23,63 juta rumah tangga yang membuang sampah yang dihasilkannya dengan cara sembarangan.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup pada Tahun 2019, rata-rata sampah yang dihasilkan per orang per hari diasumsikan sebesar 0,7 kg. Jika dalam satu rumah tangga rata-rata anggota rumah tangganya sebanyak 4 orang, berarti ada 2,8 kg per hari rumah tangga menghasilkan sampah.

Maka, diperkirakan ada 2,8 kg x 23,63 juta =  66,16 juta kg atau 66 ribu ton sampah per hari, atau sekitar 1,98 juta ton sampah per bulan yang dibuang sembarangan oleh rumah tangga di seluruh Indonesia. Tentu ini belum termasuk sampah yang dihasilkan oleh institusi lain di luar rumah tangga.

Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa rumah tangga memberikan kontribusi yang cukup besar dalam timbulnya permasalahan tumpukan sampah di berbagai tempat di Indonesia.

Tentu perlu ada penelitian dan atau referensi lain untuk mengetahui secara lebih objektif kontribusi dari luar institusi rumah tangga dalam terciptanya penumpukan sampah di sembarang tempat.

Dari uraian di atas, menjadi penting diperkuat pendekatan edukatif untuk mengubah mind set masyarakat dalam pengelolaan sampah agar lebih ramah terhadap lingkungan. Karena, tanpa terbangunnya mind set yang baik di tingkat masyarakat, maka program apa pun yang bersifat preventif dan kuratif yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan efektif mengatasi permasalahan tumpukan sampah.

Semoga pemerintah ke depan lebih mampu menyusun strategi pengelolaan sampah yang lebih holistik, yang mampu mengatasi permasalah sampah mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari pendekatan penanganan yang bersifat edukatif, persuasif, preventif hingga kuratif.***

Muji Basuki adalah statistisi di BPS Provinsi Riau.