PEKANBARU - Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) saat ini mengalami pro dan kontra di masyarakat. Pasalnya banyak masyarakat yang kurang memahami prihal rancangan tersebut.

Menurut Kapala Bagian Hukum Kepegawaian dan Umum Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Kementrian Pemberdayaan Perempuan  dan Perlindungan Anak (KPPA) Imiarti fuad, ketidakpahaman masyarakat seperti apa RUU PKS inilah yang menyebabkan persepsi yang berbeda-beda. 

Selain itu, ada beberapa kelompok yang hanya membaca naskah akademis tentang RUU PKS, kemudian dianalisi oleh beberapa pihak. Sehingga menimbulkan stikma yang berbeda.

"Memang sebenarnya naskah akademis itu perlu, tapi yang lebih penting adalah draf-drafya yang terdapat pasal demi pasalnya," kata Imiarti,  di Universitas Riau (Unri), Jumat (8/3/2019).

Ia menerangkan bahwa RUU PKS ini akan menyempurnakan UU sebelumnya khusus kekerasan seksual. Karena didalamnya akan ada pencegahan, penanganan korban, dan pemulihan bagi  korban dan pelaku. 

Imiarti menambahkan selain di proses secara hukum, pelaku nantinya akan mendapatkan pembinaan agar setelah keluar dari penjara tidak melakukan kejahatan yang sama.

Karena kejahatan seksual ini memiliki dampak yang cukup besar. Tidak hanya gangguan fisik, namun gangguan psikologis yang dialami oleh korban. Ia menegaskan jika kejahatan ini tidak ditangani secara serius, dikhawatirkan akan terus terjadi dan semakin meningkat.

Itulah mengapa pentingnya pembahasan RUU PKS. Karena nantinya akan menjadi payung hukum akibat kejahatan seksual. 

Seperti yang diketahui RUU PKS ini diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan diusulkan pada 2017. RUU ini kemudian masuk Program Legislasi Nasional 2018. Namun saat ini pembahasan RUU belum dilaksanakan.  ***