JAKARTA, GORIAU.COM - Ramainya pemberitaan mengenai perbudakan Anak Buah Kapal (ABK) di Benjina akhir-akhir ini menunjukkan betapa buruknya tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia. Ironisnya, keramaian media meliput hal tersebut 'melupakan' berbagai macam masalah yang terkait dengan ABK yang sudah dan sedang terjadi dalam tiga tahun terakhir.

Poempida Hidayatulloh, mantan Wakil Ketua Timwas TKI DPR RI mengatakan itu saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli di sidang Mahkamah Konstitusi, di Jakarta, Rabu 8 April 2015. Poempida jadi saksi ahli, dalam uji materi perkara dualisme wewenang dua Undang-Undang yang berbeda dari Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perhubungan dalam menangani masalah ABK.

"Harapan yang akan didapat dalam penanganan ABK ini adalah terbentuknya kewenangan dan tanggung jawab yang jelas dari Kementerian yang mana dalam masalah ABK ini," kata mantan anggota Komisi IX DPR RI ini.

Menurutnya, ego sektoral yang terbentuk sudah membuat situasi begitu sangat menyedihkan. Ego sektoral itu telah membuat masing institusi kementerian sangat ulet memperjuangkan wewenangnya. Tapi ketika terjadi masalah, mereka sangat enggan mengemban tanggung jawab.

"Ini harus menjadi perhatian pemerintah agar jangan hanya memperhatikan masalah perbudakan di Benjina saja. Namun, perbudakan para ABK Indonesia yang berada di atas kapal-kapal asing yang berlayar di laut-laut lintas samudera dan lintas negara harus mendapat perhatian yang serupa dan seimbang," tutur Poempida.

Menurut Poempida, para ABK asal Tanah Air, Indonesia ini adalah pejuang devisa bagi Indonesia. Tapi mereka mendapatkan deraan penderitaan yang begitu dahsyat dalam bentuk penganiayaan, gaji tidak terbayar, tidak ada akses pada komunikasi, jam kerja berlebih, tempat kerja yang tak layak dan terakhir ditinggalkan dilaut oleh Kapten kapal.

"Lalu, dengan kondisi riil yang dialami ABK tersebut, apakah Pemerintah akan diam saja?," tanyanya. (pri)