PITTSBURG -- Para peneliti lintas negara mengimbau dihentikannya terapi plasma konvelesen kepada pasien Covid-19. Sebab, pemberian plasma konvalesen sebagai terapi sia-sia atau tidak lagi efektif bagi sebagian besar pasien Covid-19 yang sakit kritis.

Dikutip dari Republika.co.id, hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal JAMA ini adalah temuan terbaru dari uji coba REMAP-CAP.

Kesimpulan itu ditarik dari uji coba terhadap ribuan pasien di ratusan rumah sakit di seluruh dunia. Peneliti REMAP-CAP mencoba mencari tahu perawatan Covid-19 mana yang paling berhasil untuk pasien.

Menurut peneliti, ada alasan yang masuk akal secara biologis untuk beralih ke plasma konvalesen di awal pandemi Covid-19. Terlebih, ketika ratusan ribu orang sakit, sementara perawatannya belum ditemukan.

''Sayangnya, plasma konvalesen juga diberikan di luar uji klinis atau dalam uji coba yang tidak berfokus pada pasien yang sakit kritis, sehingga memperlambat kemampuan kami untuk melihat apakah itu benar-benar bekerja,'' kata kata rekan penulis studi Bryan McVerry, seorang profesor di University of Pittsburgh (UPMC) di Amerika Serikat, dilansir Indian Express, Rabu (6/10).

Dengan hasil terbaru ini, para peneliti merekomendasikan agar penggunaan plasma konvalesen harus dihentikan untuk merawat pasien Covid-19 bergejala parah. Saat ini, fokusnya harus beralih ke perawatan yang diketahui manjur serta mengembangkan dan menguji Covid-19 dengan lebih baik.

Dalam uji coba plasma konvalesen, REMAP-CAP melibatkan 2.011 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19 gejala parah. Mereka diacak untuk menerima dua unit plasma konvalesen atau tanpa plasma.

Perjalanan penyakit para peserta dimonitor untuk melihat kemungkinan mereka bertahan hidup setidaknya tiga pekan tanpa memerlukan alat bantu, seperti ventilator, dibedakan berdasarkan apakah mereka dirawat dengan plasma konvalesen atau tidak. Uji coba mengumpulkan data yang cukup untuk menyimpulkan dengan kepastian lebih dari 99 persen bahwa plasma konvalesen tidak membantu pasien Covid-19 yang sakit kritis.

Hanya saja, hasilnya mengikuti pola yang sedikit berbeda untuk 126 pasien yang mengalami gangguan kekebalan. Kelompok ini tampaknya melakukan sedikit lebih baik dengan pengobatan plasma konvalesen dibandingkan dengan pengobatan standar.

Persoalannya, jumlah pasien terlalu sedikit. Peneliti REMAP-CAP pun tidak dapat mengeluarkan pernyataan definitif terkait itu.

Lise Estcourt, profesor di University of Oxford, Inggris mencatat bahwa alasannya mungkin karena pasien yang tidak dapat meningkatkan respons imun yang efektif masih dapat mengambil manfaat dari antibodi yang ada dalam plasma darah penyintas Covid-19 Covid-19, terutama pada tahap awal penyakit.

''Ini adalah sesuatu yang pasti memerlukan penyelidikan,'' kata Estcourt, penulis studi tersebut.

Para peneliti tidak dapat menentukan mengapa plasma konvalesen tidak meningkatkan hasil positif pada sebagian besar pasien yang sakit kritis. Mereka berspekulasi bahwa itu bisa menjadi kombinasi dari terlalu sedikit antibodi berkualitas tinggi dalam plasma dan pasien tersebut kondisinya terlampau berat dengan respons imun inflamasi yang tidak terkendali sehingga antibodi yang diberikan tak sanggup untuk membalikkan keadaan.

Menurut peneliti, ada kemungkinan bahwa plasma konvalesen membantu orang dalam tahap awal penyakit. Meskipun demikian, pemberiannya kemungkinan tidak efisien untuk digunakan mengingat antibodi monoklonal adalah pengobatan yang sangat efektif untuk Covid-19 awal.***