JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang diajukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tentang tentang kewajiban cuti pejawat dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Majelis hakim menegaskan, melepaskan fasilitas negara saat kontestasi politik atau pemilihan kepala daerah merupakan wujud netralitas.

''MK memutuskan menolak permohonan pemohon," ujar majelis Hakim yang juga Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang putusan yang digelar di gedung MK, Rabu (19/7).

Menurut MK, kewajiban cuti bagi pejawat yang mengikuti kontestasi Pilkada tidak berarti dalam konteks harus mundur dari jabatan yang dipegangnya.

MK juga tidak setuju dengan pendapat bahwa pejawat yang tidak cuti, maka sudah pasti akan menyalahgunakan kekuasaannya.

''Meski kasus penyelewengan juga banyak, namun MK tak bisa mengeneralisasi bahwa semua pejawat akan menyelewengkan kekuasaannya,'' kata majelis Hakim Anwar Usman.

Di sisi lain, menurut hakim, hukum memang tak boleh menutup mata. Hukum setidaknya menjadi bentuk antisipasi, oleh karenanya ada norma hukum. ''Permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum,'' ujar hakim.

Ahok mengajukan gugatan sejak Agustus 2016. Alasannya karena Pasal 70 ayat 3 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah dianggap merugikan. Pasal tersebut mewajibkan pejawat cuti selama masa kampanye.

Sedangkan Ahok tidak ingin mengajukan cuti saat mencalonkan diri dalam Pilkada DKI. Ahok berpandangan kewajiban cuti kampanye bagi calon petahana telah melanggar Pasal 27 ayat 1 UUD 1945.

Adapun pasal tersebut berbunyi: ''Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.''

Ahok turut membandingkan perbedaan kedudukan di dalam hukum, seperti masa jabatan petahana gubernur dan masa jabatan presiden. Di mana berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, presiden yang kembali mengikuti Pemilu tidak diwajibkan cuti selama masa kampanye.***