THOE PIET JUN sudah berniat memeluk Islam sejsk remaja. Namun keinginan menjadi Muslimah baru terkabul setelah wanita berdarah Tionghoa itu mamiliki tiga orang anak. Begini kisahnya.

Thoe Piet Jun lahir dan dibesarkan di tengah keluarga non-Muslim di Jakarta Utara. Saat dia berusia 7 tahun, kebakaran besar melanda pemukimannya. Rumahnya ikut ludes terbakar dan nyaris tak ada barang yang berhasil diselamatkan. Beruntung semua keluarganya selamat.

Waktu itu, Amung - demikian panggilan akrabnya, masih duduk di kelas II sekolah dasar. Pasca kebakaran, keluarga Amung pindah ke sebuah kawasan di Ibu Kota yang mayoritasnya berpenduduk Muslim.

''Rumah saya pindah sehingga sekolah saya pun ikut pindah. Namun, tidak ada (sekolah) yang mau menerima saya karena seluruh berkas saya ikut terbakar,'' ujar Amung, seperti dikutip dari portalsatu.com yang melansir dari republika.id.

Di pemukiman yang baru, ayah dan ibunya berusaha mencarikan sekolah untuk Amung. Akhirnya, mereka mendapati ada sebuah sekolah yang mau menerima calon murid tanpa harus melengkapi berkas-berkas. Institusi itu berada di bawah sebuah yayasan pendidikan Islam.

Karena tidak ada pilihan lain, kedua orang tua Amung pun mendaftarkan anaknya ke sana. Setelah diterima, ia dapat meneruskan pendidikan yang sebelumnya sempat tertunda.

Di sekolah Islam ini, tidak ada mata pelajaran agama yang dianut Amung saat itu. Bisa dikatakan, dia merupakan satu-satunya murid non-Muslim di sana. Sehingga, ia beberapa kali mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran Islam.

Seperti kebanyakan lembaga edukasi yang berbasis Islam, sekolah Amung menyelenggarakan porsi pengajaran yang hybrid. Sekira 70 persen dari total mata pelajaran berkaitan dengan Islam, semisal akidah akhlak, fikih, kajian Alquran, dan sebagainya. Adapun 30 persen sisanya diisi porsi mata pelajaran umum.

Mulanya, Amung—yang di sekolah itu disapa dengan panggilan ''Aminah''— mengikuti pelajaran keislaman hanya karena penasaran. Lama kelamaan, ia merasa nyaman dengan materi-materi yang disampaikan. Di samping itu, muncul ketertarikan yang dalam untuk lebih mengenal agama ini.

Perempuan ini terus bersekolah di sana hingga lulus SMP. Berbagai pengajaran Islam yang diperolehnya selama itu tentu memengaruhi pola pikirnya. Setelah SMA, nalarnya kian terasah.

Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa ajaran Islam sangat masuk akal. Konsep tentang tauhid, misalnya, begitu sederhana—tidak berbelit-belit. Agama ini mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan. Dialah Allah, Zat Yang Mahapencipta. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.

Di SMA negeri tempatnya belajar, Amung hanya bisa sampai ke kelas dua. Ia terpaksa putus sekolah karena sesuatu hal. Sejak saat itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan membaca buku atau menulis jurnal.

Suatu hari, seisi rumah dikejutkan oleh kedatangan kakak lelaki Amung. Abangnya itu tiba-tiba pulang dengan penampilan bersarung. Saat ditanya, pemuda itu mengaku baru saja dikhitan.

Kedua orang tua Amung terperanjat. Ternyata, anak lelakinya itu sudah memeluk Islam. Bagaimanapun, mereka tidak bisa berbuat banyak selain menerima kenyataan itu dengan lapang hati.

Keputusan kakaknya itu membuat Amung berpikir bahwa drinya pun harus berani mengutarakan keinginan selama ini, yaitu menjadi seorang Muslimah. Abangnya yang sudah menjadi mualaf toh tidak berubah sikapnya terhadap orang tua. Bahkan, bisa dikatakan, sang kakak tampil lebih santun dan religius sejak masuk Islam.

Saat genap berusia 15 tahun, Amung memberanikan diri untuk memohon restu kedua orang tuanya. Ia ingin bersyahadat, proses yang mesti dilalui siapapun yang hendak memeluk Islam. Namun, jawaban tegas sang ayah membuatnya tertegun. Bapaknya itu mengaku khawatir bila putrinya ini kelak menjadi Muslimah.

Karena tak ingin menyakiti perasaan orang tuanya, ia pun menuruti arahan untuk tidak berislam. Meski tak jadi bersyahadat, Amung tidak bisa memungkiri, keinginannya untuk menjadi Muslimah masih sangat kuat.

Demi menghindari konflik di rumah, ia memilih bersiasat. Yakni, tetap menjalani gaya hidup islami—termasuk dalam hal perilaku. Dengan begitu, wanita ini dapat merasa berislam tanpa harus resmi menjadi pemeluk agama itu.

Sebagai contoh, Amung waktu itu mulai berhenti total mengonsumsi minuman beralkohol dan daging babi. Bahkan, konsennya tidak hanya pada rutinitas. Sewaktu bulan suci Ramadhan, ia diam-diam ikut berpuasa, belajar mengaji, dan shalat.

Semuanya berjalan lancar, tanpa kendala. Hingga akhirnya, ia menemukan jodoh. Suaminya itu juga keturunan Tionghoa dan bukan Muslim.

Setelah menikah, Amung dan suaminya bermukim di lingkungan yang mayoritas Muslim. Wanita ini sering bergaul dengan para tetangga yang beragama Islam. Hal inilah yang kembali menguatkan tekadnya untuk berislam.

Niatnya untuk memeluk Islam memang tak pernah luntur, bahkan tatkala ia sudah menapaki 35 tahun. Saat itu, ibu beranak tiga ini kembali mengutarakan keinginannya untuk memeluk Islam. Kepada suaminya, ia memohon izin.

"Suami saya tidak secara tegas menolak. Hanya saja, jika saya bertekad memeluk Islam, maka harus berpisah. Sebab, telah berbeda agama,'' ucapnya mengenang.

Adanya opsi cerai sempat membuatnya ragu. Dengan pertimbangan bahwa anak-anaknya saat itu masih kecil, ia kembali mengurungkan niatnya bersyahadat. Bagaimanapun, kebiasaannya untuk mengikuti ibadah khas Islam tetap dilakukan, termasuk saat Ramadhan.

Lama kelamaan, sikap sang suami melunak. Bahkan, lelaki itu setia menemani Amung saat santap sahur dan berbuka puasa di kala bulan suci.

Putuskan Bersyahadat

Pada 2003, kedukaan yang besar melanda dirinya. Amung ditinggal wafat suami tercinta. Hidupnya sempat terguncang. Apalagi, anak-anaknya masih kecil sehingga memerlukan curahan dari sosok ayah.

Namun, musibah itu dihadapinya dengan ketabahan. Pada titik ini, hatinya kembali ingin bersandar pada keyakinan yang teguh. Ingin rasanya menjadi hamba Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya.

Tekadnya untuk berislam kian menguat. Hingga beberapa tahun kemudian, adik bungsunya yang mualaf akan menikah. Calon istri adiknya itu semula non-Muslim, tetapi kemudian memilih memeluk Islam. Ia melihat ini sebagai momen untuknya juga ikut bersyahadat.

Pada 2008, saat-saat yang lama dinantikannya itu akhirnya terjadi. Di hadapan seorang ustaz dan sejumlah orang saksi, Amung mengucapkan dua kalimat syahadat di Kantor Urusan Agama (KUA) Cilincing, Jakarta. Sejak resmi menjadi seorang Muslimah, dia lebih giat lagi mempelajari Islam, khususnya aspek-aspek ibadah yang wajib maupun sunah.

Hingga 2015, Amung bertemu dengan orang yang mendampinginya belajar Islam. Saat itu Amung dan anaknya membuka konter ponsel di Mal Ambassador, dan bertemu pelanggan wanita yang menjadi istri Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Setelah berbincang-bincang, ia pun kemudian ikut mengaji bersama PITI. Bersama isti Denny Sanusi, yakni Haryani, Amung rutin mengikuti kegiatan PITI maupun kegiatan Islam di luar.

Wanita ini mengaku punya kebiasaan, yakni beriktikaf di masjid tiap sehabis mengikuti shalat Subuh berjamaah. Selama kira-kira satu jam, ia mengaji Alquran dan berzikir.

Begitu matahari fajar menyingsing, barulah ia kembali ke rumah. Namun, metode itu mulai tidak lagi rutin dilakukannya sejak pandemi melanda. Sebab, banyak masjid—terutama pada puncak wabah Covid-19—menerapkan pembatasan.

Sebagai mualaf, ia mengaku merasakan banyak keberkahan. Sebagai contoh, dalam hal membesarkan anak-anak. Sepeninggalan mendiang suaminya, tentu Amung berperan sebagai single parent.

Tidak pernah dirinya memaksakan semua anaknya untuk berislam. Namun, tanpa sepengetahuannya, dua orang dari mereka justru tertarik mengikuti jejaknya, yakni menjadi Muslim.

Bagi Amung, Allah SWT telah memberikan begitu banyak karunia. Karena itu, ia terus melatih diri agar menjadi pribadi yang gemar bersyukur. Dengan begitu, ridha Illahi insya Allah dapat diraih, demi kebahagiaan di dunia maupun akhirat.***