Dalam konteks administrasi publik, paradigma baru kepemimpinan aparatur negara yang perlu dikembangkan adalah kepemimpinan berdasarkan pelayanan. Mengapa pelayanan yang menjadi pertimbangan sebagai dasar paradigma baru kepemimpinan aparatur negara? Ada beberapa pertimbangan, yaitu:

Pertama, bahwa pelayanan publik selama ini menjadi ranah dimana negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi dengan lembaga-lembaga non-pemerintah. Maknanya, buruknya praktik governance sebagai akibat kepemimpinan aparatur negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik, sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas. Ini berarti, jika terjadi perubahan yang signifikan pada ranah kepemimpinan yang berbasis pelayanan publik dengan sendirinya dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh warga dan masyarakat luas. Dengan menjadikan pelayanan publik sebagai nilai dan jiwa kepemimpinan aparatur negara, maka diharapkan good governance akan secepatnya terwujud dan toleransi terhadap bad governance akan dapat dihentikan.

Kedua, bahwa salah satu makna penting dari governance yang membedakan dengan government adalah keterlibatan aktor-aktor di luar negara dalam merespon masalah-masalah publik. Governance lebih luas government karena dalam praktik governance melibatkan unsur- unsur masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Selain itu, mewujudkan nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance seperti efisien, non diskriminatif, berkeadilan, berdaya tanggap tinggi, dan memiliki akuntabilitas tinggi dengan mudah dikembangkan parameternya di dalam ranah pelayanan publik.

Ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur governance. Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar memiliki kepentingan dan keterlibatan yang tinggi dalam ranah ini. Pelayanan publik memiliki high stake dan menjadi pertaruhan yang penting bagi ketiga unsur governance, karena baik buruknya praktik pelayanan publik sangat berpengaruh terhadap ketiganya.

Nasib sebuah pemerintahan, baik pusat maupun daerah, akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan para pemimpin dalam mewujudkan pelayanan publik. Keberhasilan sebuah rezim dan penguasa dalam membangun legitimasi kekuasaan sering dipengaruhi oleh kemampuan mereka dalam menyelnggarakan pelayanan publik yang baik dan memuaskan masyarakat.

Dengan memperhatikan berbagai hal di atas, para pimpinan di jajaran aparatur negara memiliki kepentingan untuk melakukan pembaharuan dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Nasib mereka, apakah dapat mempertahankan jabatannya atau tidak dipengaruhi kualitas pelayanan publik yang diberikan. Pertimbangan tersebut memperkuat niat membangun paradigma baru kepemimpinan yang berbasis pelayanan. Pelayanan sebagai sebuah konsep dasar paradigma baru kepemimpin, berangkat dari pemikiran bahwa, nilai dasar dari ajaran administrasi publik adalah "memberikan pelayanan kepada masyarakat tanpa membedakan siapa yang dilayani".

Melayani bermakna memberikan sesuatu jasa atau dalam bentuk lain secara ikhlas kepada orang lain (masyarakat) atau pelayanan berdasarkan hati nurani. Sikap ikhlas menuntut suatu komitmen yang kuat terhadap diri sendiri, institusi dan masyarakat yang dilayani serta pengorbanan. Komitmen bermakna sikap keberpihakan yang tinggi terhadap masyarakat yang dilayani. Sebagai sebuah proses, komitmen menuntut konsistensi dari para pemimpin. Sikap ini menjadi penting, karena konsistensi akan memberikan kenyamanan dan ketenangan serta keamanan bagi masyarakat. Sedangkan sikap pengorbanan menunjuk pada sikap menempatkan kepentingan orang lain (masyarakat yang dilayani) dibandingkan dengan kepentingan pribadi atau golongan/ kelompoknya.

Selain nilai-nilai dasar tersebut, nilai-nilai kepemimpinan transformasional, transaksasional dan kepemimpinan primal yang berbasis resonansi, juga merupakan indikator-indikator yang dimasukkan dalam mengukur kepemimpinan berbasis pelayanan. Berdasarkan hasil kajian dan pengalaman empirik, membuktikan bahwa organisasi-organisasi yang mendasarkan diri pada konsep pelayanan akan lebih langgeng dibandingkan dengan pendekatan lain.

Pada tingkat lokal daerah, memperlihatkan bahwa daerah- daerah yang unggul dan berkembang pesat, karena daerah tersebut dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kecerdasan pelayanan yang prima.

Konsep kepemimpinan berbasis pelayanan menjadi sangat penting, sebagai konsekuensi logis dalam sistem demokrasi, dimana rakyat atau masyarakat adalah yang berkuasa. Dalam konsep demokrasi, masyarakat bukan didudukan sebagai obyek kekuasaan tetapi sebagai subyek dan sekaligus obyek penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal ini bermakna sumber kekuasaan berada di tangan masyarakat. Kepemimpinan dalam sistem politik demokratis, hakikatnya adalah kepemimpinan yang memiliki kemampuan partisipatif, kecerdasan multikultural dan sosial clan bahkan kecerdasan spiritual. Kemampuan partisipatif dimaknai, sebagai sikap kepemimpinan yang selalu mendengar keluhan dan kebutuhan masyarakat dan bukan hanya mau didengar saja. Kecerdasan multikultural sebagai konsep dasar kepemimpinan pelayanan, dengan asumsi dasar bahwa kepemimpinan yang berhasil adalah kepemimpinan yang mengenal, memahami, mendalami dan menghargai nilai- nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Selanjutnya, konsep kecerdasan sosial sebagai konsep kepemimpinan pelayanan menunjuk pada suatu kemampuan seorang pemimpin terhadap aspirasi masyarakat yang dilayani. Adapun kecerdasan spiritual sebagai dasar dan landasan kepemimpinan pelayanan, bahwa dipercaya sentuhan spiritual akan lebih efektif dibandingkan pendekatan lain.

Sentuhan spiritual bukan permasalahan agama, tetapi lebih pada suatu model pelayanan yang selalu dikaitkan hubungannya dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Melayani. Semua konsep dasar dari kepemimpinan berbasis pelayanan, menunjukkan bahwa diperlukan suatu proses yang cukup panjang untuk mempersiapkannya. Seperti telah dikemukakan, negara Singapura memerlukan waktu 40 tahun lebih untuk rnenghasilkan kepemimpinan berbasis pelayanan.

Dengan demikian, model kepemimpinan yang melayani membutuhkan suatu perubahan dalam sikap mental lebih daripada sekedar perubahan struktural. Untuk beroperasi di dalam model ini, para pemimpin harus menyisihkan ego mereka dan merangkul secara mendalarn keyakinan bahwa orang- orang akan melakukan kinerja terbaik mereka dalam suatu atmosfer kebebasan dan kepercayaan.***

***Mahasiswa S3 Administrasi Publik Universitas Riau