C. HUDA DODGE sangat bersyukur karena Allah SWT memberinya hidayah hingga dirinya memutuskan menjadi mualaf. Namun, Huda Dodge juga merasakan kesedihan, karena tidak Muslimah sepanjang kehidupannya.

Dikutip dari Republika.co.id, Huda Dodge lahir di San Fransisco, California dan dibesarkan di pinggiran kota teluk, San Anselmo. Penduduk kota tempat ia tumbuh, mayoritas beragama Kristen.

Huda Dodge menyebut sang ayah merupakan orang Presbiterian, sementara ibunya adalah Katolik. Ayahnya bukanlah seseorang yang aktif beribadah. Namun, sang ibu kerap mengajaknya ke gereja.

''Ibu beberapa kali mengajak anak-anaknya ke gereja. Tapi, saat itu kami tidak tahu apa yang mereka lakukan dalam ritual ibadah itu,'' ujarnya dalam buku Stories of New Muslims, Rabu (8/7).

Di gereja yang sama, ia melakukan pembaptisan. Pada usia delapan tahun, ia menerima komuni pertamanya. Namun, setelah semua proses itu, ia dan keluarga pergi ke gereja hanya setahun sekali.

Saat berusia 10 tahun, Huda Dodge aktif mengikuti kegiatan di gereja lainnya, gereja Presbiterian. Mulanya, ia hanya diajak meramaikan pesta Natal. Namun keikutsertaannya menjadi semakin sering, seiring ia membuat kelompok muda gereja saat berada di SMA.

Bersama teman-temannya di kelompok itu, ia kerap membicarakan tentang isu-isu spiritual. Perdebatan dan tukar pikiran tentang keagamaan yang berhubungan dengan kehidupan tak bisa dihindarkan. Namun, pembicaraan itu tak pernah menemukan titik keluar. Gereja juga disebut tidak membantu, mereka hanya berkata, ''Percayalah dengan imanmu''.

Sejak bergabung dengan gereja tersebut, wanita ini juga aktif mengikuti kegiatan di luar kota. Bahkan, beberapa kali ia ikut serta dalam kegiatan yang berhubungan dengan dunia internasional. Salah satunya, saat berada di bangku SMA, ia menjadi sponsor pendidikan seorang anak laki-laki Mesir bernama Sherif.

Sherif kala itu berusia 9 tahun, 5 tahun lebih muda dari Huda Dodge. Mereka berdua sering berkirim surat dan memberikan informasi tentang kehidupan masing-masing. Saat ia berusia 16 tahun, Huda Dodge menerima kabar jika kakak Sherif, yang seumuran dengannya, telah bertunangan.

''Kondisi itu (informasi tentang kakak Sherif) sangat asing buatku. Ini adalah kontak pertamaku dengan Muslim,'' ujar Huda Dodge.

Kontak keduanya dengan Muslim juga berlangsung saat ia mengikuti kegiatan di SMA. Ia mengambil pekerjaan sebagai relawan di San Fransisco sebagai guru Bahasa Inggris bagi pengungsi wanita. Di dalam kelas yang ia asuh ada dua janda Muslim China, Fatimah dan Maysoon, yang berasal dari Vietnam.

Semua pengalaman dan kesempatan yang ia dapatkan, mengarahkan Huda Dodge semakin yakin jika semua hal di dunia ini berharga. Ada dua hal yang memancing keingintahuannya, yakni iman kepada Tuhan dan berinteraksi dengan dunia luar.

Berlanjut saat kuliah di Portland, ia memilih bergabung dengan dua kegiatan, yakni ''Campus Crusade for Christ'' dan ''Kelompok Tutur''. Kelompok ini seperti kelas bahasa yang berisikan orang Amerika dan beberapa mahasiswa Internasional.

Bersama beberapa anggota Campus Crusade for Christ, setiap minggu mereka pergi ke gereja yang berbeda di Portland. Tak jarang, ia menemukan hal-hal unik dari kunjungannya ke gereja-gereja ini. Hingga akhirnya, ia menemukan gereja yang membuatnya merasa aneh dan berhenti ikut kegiatan itu.

''Di gereja itu, ada sebuah band rock dengan gitar elektrik. Jamaat yang ada menutup mata sambil mengangkat tangan, sembari menyanyikan 'Hallelujah'. Aku merasa terganggu,'' kata dia.

Ia merasa kondisi di sana jauh dari kata memuja atau menyembah Tuhan. Ia juga tidak merasa nyaman sehingga memilih tidak kembali ke gereja itu, meski teman-temannya yang lain tetap berangkat. Bagi Huda Dodge, ia bisa dekat dengan Tuhan saat berada di tempat yang sepi atau saat di luar ruangan.

Seiring dengan itu, di Kelompok Tutur, ia bertemu dengan beragam mahasiswa internasional. Salah satunya seorang pria Palestina, Faris. Percakapan Faris tentang kehidupan, keluarga, maupun agamanya tertanam di kepala Huda Dodge untuk waktu yang lama.

Saat bertemu dengan Muslim lain sebelumnya, ia merasa tak perlu mempelajari karena ada batasan budaya. Huda Dodge merasa asing dengan Islam. Namun, sejak bertemu dengan Faris dan mendalami Islam, ia menjadi semakin tertarik sebagai kemungkinan untuk hidupnya sendiri.

Di tahun kedua masa perkuliahan, Kelompok Tutur ini bubar. Namun, rasa penasarannya akan Islam tetap bertahan dan mengarahkannya bergabung dengan kelas departemen studi agama, pengantar Islam. Kelas ini membawanya pada semua pertanyaan yang sempat ia rasakan ketika awal menjadi orang Kristen. Semakin ia mengenal Islam, semakin banyak pertanyaan yang ia pendam terjawab.

''Aku seperti menemukan pengajaran yang dapat menjawab pertanyaanku dari perspektif yang lebih baik. Jawaban-jawaban ini bisa diterima oleh hati dan akal saya,'' ujar Huda Dodge.

Dari pertemuan-pertemuan itu, ia menemukan jika Allah SWT adalah juri yang sempurna dan adil. Allah akan memberikan hukuman dan pahala berdasarkan iman dan kebajikan yang dimiliki seseorang.

Semua ilmu maupun informasi yang didapat tidak dirasa membingungkan. Semuanya serba natural. Ia menyebut dari semua pencarian yang ia lakukan, kini ia menemukan tempat untuk melabuhkan imannya.

Pendalaman pemahaman akan Islam terus ia lakukan meski harus kembali ke rumah saat libur musim panas tiba. Beberapa buku dari perpustakaan ia bawa pulang. Tak jarang ia menyelipkan beberapa informasi dan pengetahuannya tentang Islam dalam percakapannya dengan keluarga.

Saat libur musim panas berakhir dan ia harus kembali ke kampus, ia menghubungi masjid terdekat di barat daya Portlandia. Ia meminta kontak seorang Muslimah yang bisa dijadikan teman berbicara. Tak lama, ia dikenalkan pada seorang Muslimah Amerika.

Dalam pertemuan dan percakapan mereka, Muslimah ini menangkap jika Huda Dodge telah 100 persen percaya Islam. Ia siap menjadi seorang Muslim. Hingga akhirnya ia diundang mengikuti kegiatan akikah dimana saat itu berkumpul banyak Muslimah yang mau menunjukkan cara Muslim beribadah.

Di malam yang sama, di hadapan beberapa Muslimah, Huda Dodge mengucapkan syahadat. Di malam yang sama, ia merasa seperti terlahir kembali.

''Ketika aku mengingat kembali kenangan itu, aku tidak bisa menahan diri untuk mengucap Subhanallah, dan berterima kasih kepada Allah SWT yang mengantarkan aku pada titik ini. Tapi di sisi lain, aku juga merasa sedih karena tidak terlahir dalam Islam dan menjadi Muslimah sepanjang hidup,'' kata dia.

Setelahnya, Huda Dodge tetap tinggal di asrama milik kampus, meski jauh dan terisolasi dari komunitas Muslim. Selain itu, meski telah mengubah caranya dalam berpakaian, lebih sopan, tapi ia merasa belum siap menggunakan hijab.

Enam bulan berselang, ia menjalani Ramadhan pertamanya. Di hari pertama bulan suci ini, ia seperti memiliki kekuatan menggunakan hijab dan mengikuti perkuliahan seperti biasa. Ramadhan seperti membantunya merasa lebih kuat dan bangga menjadi Muslimah.

Perihal keluarga, Huda Dodge telah memberitahu mereka sehari setelah mengucapkan syahadat. Mereka merasa cepat atau lambat hal itu akan terjadi, mengingat tingkah laku dan perkataannya saat libur musim panas sebelumnya.

Mereka menerima keputusannya menjadi Muslim dengan baik. Namun, kekhawatiran jika sang anak akan dikucilkan dari masyarakat, setelah ia menggunakan hijab, tak bisa dipungkiri hadir dalam benak keluarga. Meski demikian, mereka mendukung apa pun keputusan yang diambil Huda Dodge.

Setahun berselang, Huda Dodge menikah dengan Faris. Meski orang tua sempat menentang, mereka menilai ia masih terlalu muda, namun hubungan mereka tetap terjalin dengan baik. Huda Dodge juga masih aktif dalam usaha meraih pendidikan dan cita-citanya.***