KITA, terutama akademisi dan politisi, tahu bahwa pendidikan nasional belum beranjak dari masalah pemerataan pendidikan dan pemerataan kualitas pendidikan. Entah kapan Universitas Riau itu sama kualitasnya dengan Universitas Indonesia atau Universitas Gajah Mada?

Kita juga tahu perguruan tinggi terbaik kita masih menempati uratan ratusan dunia dan jumlahnya masih dapat dihitung dengan jari.

Menurut mantan Menteri Pendidikan Muh. Nuh, ada dua penyebab sulitnya pemerataan kualita pendidikan, terutama perguruan tinggi. Pertama, rekrutmen mahasiswa yang belum selektif, asal masuk, tanpa seleksi, terutama di perguruan tinggi swasta (PTS). Pada hal, PTS sangat dominan, dari 4.700 PT, hanya 150 saja PTN, sisanya tentu PTS.

Kedua, rekrutmen dosen, sama saja, yaitu tanpa seleksi, yang penting S2 langsung dosen, dan lebih gampang lagi KKN dengan petinggi kampus.

Jika dua hal ini tidak dibenahi, maka apa yang disinyalir oleh diskusi meja bundar bertopik; “Pajak, Pendidikan dan Penegakan Hukum”, yang ditaja oleh Asosiasi Profesor Indonesia 27 Agustus 2017 lalu menyimpulkan: “pendidikan tanpa revolusi bisa hancur.” Begitu pula Dr. Dwi Murdaningsih (Kompas, 2018) mengatakan: Indonesia memerlukan guru dan dosen yang memiliki pengatahuan tingkat global, berwawasan luas, mengerti serta mengamalkan soft skill, sekaligus sebagai agen perubahan.

Dengan bahasa lugas, kita butuh pendidik, tidak hanya pengajar. Ini pulalah yang langka di negeri kta, yang banyak hanya pengajar. Sebagai pendidik, dosen harus berkemampuan; sebagai motivator, menyadarkan, membimbing, mengarahkan, mendorong agar timbul minat baca, agar timbul daya analitis sekaligus menjadi agen perubahan.

Muaranya adalah manusia-manusia bekualitas yang berkarakter, dimana tujuan utama pendidikan itu adalah melahirkan manusia-manusia berkarakter. Sekarang banyak orang pintar tapi minus akhlak/karakter.

Apa yang kita sebut di atas bisa dicapai dengan baik apabila dilaksanakan melalui belajar tatap muka. Mustahil membentuk karakter hanya melalui online, memang bisa tapi hanya sebagian kecil yang dapat dilakukan seperti mengajarkan, menuntun, memberi masukan, tapi mempebaiki watak, apalagi terhadap mahasiswa-mahasiswa (sebagian besar) kita belum siap, Mereka masih berwatak; instan, malas, tak mau belajar apalagi membaca, tak serius, ditambah lagi tujuan kuliahnya tak benar.

Melalui kuliah dengan tatap muka, masih berat merubah perilaku yang telah membudaya, yaitu malas dan santai. Apalagi kuliah online, dapat dibayangkan bagaimana mahasiswa kita mengamalkannya.

Berbeda dengan mahasiswa-mahasiswa di negeri maju yang budaya malasnya sudah tidak ada, mereka sudah siap mental, kualitasnya sudah di atas rata-rata, ditambah lagi dosennya berwawasan global, tidak lagi teks book thingking, kita yakin kuliah online dapat diterapkan dan sukses.

Sekedar tambahan informasi, menurut harian Kompas tanggal 17 Maret 2020 lalu, yang mengadakan kuliah online sehubungan dengan virus Corona hanya 58 perguruan tinggi dari jumlah 4.700 perguruan tinggi di Indonesia.

Mudah-mudahan kita tidak latah dan merasa canggih. Perbaiki dulu mental anak didik, didukung dosen yang betul-betul kualified, tidak hanya modal S2. Kasihan negeri kita, terlalu lama terseok-seok dan tertatih-tatih, karena SDM-nya masih bermasalah akibat pendidikan yang belum maksimal.

Sebuah renungan buat kita, 75 tahun merdeka masih tergolong negara berkembang. Selamat libur, semoga penyebaran Covid-19 dapat dikendalikan dan segera hilang. Insya Allah.***

Iqbal Ali adalah Ketua STISIP Persada Bunda 2008-2016 dan Ketua Dewan Pembina IKMR Provinsi Riau.