JAKARTA - Sebelas kepala daerah pada Jumat (26/1/2023) mengajukan judicial review (menggugat) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kesebelas kepala daerah tersebut adalah Gubernur Jambi Al Haris, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi Ansharullah, Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal, Bupati Malaka Simon Nahak, Bupati Kebumen Arif Sugiyanto, Bupati Malang Sanusi, Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid, Bupati Rokan Hulu Sukiman, Wali Kota Makassar Danny Pomanto, Wali Kota Bontang Basri Rase, dan Wali Kota Bukittinggi Erman Safar.

Dikutip dari Bisnis.com, diwakili oleh Donal Fariz, Febri Diansyah, dan Rasamala Aritonang dari Visi Law Office selaku kuasa hukum, mereka mengajukan judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 ayat (7), (8) dan (9) dalam UU No. 10/2016 yang mengatur perihal pilkada serentak pada November 2024, karena berpotensi memangkas masa jabatan para kepala daerah.

“Disain keserentakan Pilkada 2024 dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sebab telah merugikan sejumlah 270 kepala daerah, utamanya terkait terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan,” demikian keterangan Visi Law Office yang diterima Bisnis, Jumat (26/1/2024).

Menurut kuasa hukum pemohon, jumlah tersebut mencapai 49,5% dari total 546 kepala daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia.

Meskipun pasal-pasal itu juga pernah diuji ke MK, para pemohon memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya. Kali ini, pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis Pilkada 2024 serentak, sehingga berpotensi menghambat pilkada yang berkualitas.

Itu sebabnya, para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan pilkada di 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang.

Gelombang pertama dicanangkan pada November 2024 sebanyak 276 daerah, lalu gelombang kedua mencakup 270 daerah dan dilaksanakan pada Desember 2025.

“Disain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan, hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi, sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut,” pungkas keterangan kuasa hukum.

Sebagai informasi, Pasal 201 ayat (7) UU No. 10/2016 berbunyi, "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024."

Ayat berikutnya menjelaskan bahwa Pilkada di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada November 2024.

Ketentuan ini kemudian ditimpali oleh Pasal 201 ayat (9) yang berbunyi, "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024."

Tujuh Pokok Permasalahan

Dikutip dari Tempo.co, Febri Diansyah mengatakan, para kepala daerah tersebut menganggap pasal 201 ayat (7), (8), dan (9) memangkas masa jabatan para kepala daerah secara signifikan, yakni sekitar 270 orang kepala daerah. Dari 270 orang yang merasa dirugikan, sebanyak 11 orang dari mereka pun menjadi pemohon di MK.

Menurut Febri Diansyah, ada tujuh pokok permasalahan yang membuat pasal di atas bermasalah, yaitu:

1. Tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan jadwal Pilkada Serentak Nasional tahun 2024.

2. Penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis

3. Tujuan keserentakan Pemilu untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana

4. Penentuan jadwal Pilkada Serentak Nasional 2024 merugikan sebanyak 270 Kepala Daerah hasil Pilkada 2020

5. Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi

6.Keserentakan Pilpres, Pileg, dan Pilkada membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar

7. Adanya potensi penumpukan perkara hasil sengketa pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, mereka meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang. Pelaksanaan pertama dilakukan pada bulan November 2024 di 276 daerah. Selanjutnya, dilakukan pada Desember 2025 di 270 daerah untuk gelombang kedua.***