Darimana datangnya landak

Dari tanah yang terinjak

Berpikirlah sebelum bertindak

Itulah tanda insan yang bijak

Sungguh mengejutkan tentunya dan sedang heboh di Media Sosial (Medsos) tentang adanya selebaran yang beredar, entah siapa yang "tukang sebar", yang pasti selebaran itu telah di share di Medsos.

Nampaknya, selebaran itu spesial dan ada "misi khusus". Penulis pun mendapatkannya. Selebaran itu intinya berisi tulisan Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau soal jabatan Komisaris Utama, Komisaris, dan Direktur Utama dan Direktur dua BUMD Riau, yakni PT PIR dan PT SPR.

Jujur, penulis mendapat selebaran tersebut dari kawan yang sedang menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD salah satu kabupaten di tanah Melayu, Bumi Lancang Kuning ini (Sabtu, 23/1/2021).

Saya pun langsung membacanya, selebaran tak resmi itu terkesan "provokatif" dan "menyulut" sentimen primodial seseorang saat membacanya. Penulis tak mau "menuduh", apa motif besar dibalik itu semua, apalagi bukan selebaran aksi, karena kalau selebaran aksi pasti ada penanggungjawabnya, ada institusi dan korlapnya.

Karena gara-gara selebaran ini, memicu sedikit "kegaduhan" ditengah publik. Demokrasi digital tanpa alas edukasi, bisa berbahaya bro,!.

Penulis pun menjawab pertanyaan kawan yang meng-share ke saya, beliau bilang, "apa benar berita ini bang?" Saya jawab, "abang tidak tahu, makasih informasinya adinda." Tak lama kemudian berita di media online pun keluar, terkait selebaran tersebut.

Tak lama berselang, muncul berita tentang pernyataan sikap dan rekomendasi FKPMR tentang Pengangkatan Komisaris dan Direksi BUMD, yang dipublish di beberapa media online.

Tentu makin heboh!

Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh kanda Dr. drh. H. Chaidir, MM selaku Ketua Umum FKPMR dan Wasekjen Muhammad Herwan (25/1/2021). Nampaknya, apa yang dilakukan oleh FKPMR tempat berhimpunnya tokoh-tokoh Melayu Riau ini lebih merupakan cerminan komitmen dan keberpihakan politik komunal Melayu.

Tak heran, di point pertama, FKPMR menegaskan sikap bahwa BUMD sebagai perusahaan pemilik daerah, maka Dewan Komisaris dan Direksi haruslah representasi kepentingan daerah serta harus memenuhi ketentuan perundang-undangan dengan mengutamakan putera Melayu Riau.

Pernyataan sikap dan rekomendasi FKPMR tentang pengangkatan Komisaris dan Direksi BUMD, dapat dipahami untuk memperhatikan putera melayu dan itulah hakikat FKPMR didirikan dari awal, yakni perjuangan Melayu.

Dan keluarnya pernyataan sikap tersebut, hendaklah dilihat dalam konteks niat tulus ingin sama-sama mengawal dan memperbaiki BUMD, yang selama ini menjadi "beban" APBD.

Hanya saja, penulis ingin urun rembuk bahwa proses pengangkatan Komisaris dan Direksi di PT PIR dan PT SPR tidak bisa dilakukan proses seleksi ulang, hal ini bertolak belakang dengan spirit dan semangat PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2018.

Tanpa bermaksud "menggurui", kalaulah FKPMR mau sedikit obyektif, sedari awal proses seleksi, mulai pendaftaran penjaringan, seleksi administrasi, UKK dan terakhir wawancara calon yang dilakukan kepala daerah (Gubernur) bisa mengawal secara profesional dan proporsional.

Sekali lagi, jalur diplomasi menjadi sangat penting daripada menempuh jalur lain.

Bahwa, mengingatkan Gubernur Riau agar dalam pengelolaan BUMD mengedepankan semangat profesional dan mencerminkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, penulis sepakat. Tentu Pemerintah Provinsi Riau dengan mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014, dan aturan perundang-undangan lainnya, segudang pengalaman di pemerintahan, prinsip cermat dan teliti dalam melakukan proses seleksi, tetap diutamakan.

Prinsip transparan, akuntabel, dan tentu mengutamakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance menjadi pedoman dalam bekerja bagi Pemprov Riau, OPD terkait, Panitia Seleksi dan Tim Ahli yang ditunjuk untuk UKK (Uji Kelayakan dan Kepatutan) sesuai dengan amanat PP Nomor 54 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2018.

Mengacu pada Perda Nomor 2 Tahun 2016 sudah tidak relevan lagi dan tidak bisa dijadikan sandaran sumber hukum, karena materi-materi yang terkandung di PP Nomor 54 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 37 Tahun 2018 sudah jauh berbeda.

Artinya, saran penulis Perda Nomor 2 Tahun 2016 tentang tata kelola BUMD wajib dievaluasi dan direvisi kembali. Agar cara pandang DPRD, khususnya Komisi III tidak salah tafsir dan "gagal paham" terutama keterlibatan mereka sebagai unsur tim seleksi dan tatacara pengangkatan dan pemberhentian Anggota Dewan Pengawas atau Komisaris dan Anggota Direksi BUMD.

Itulah sebabnya, mengapa Pemerintah Provinsi Riau (baca: panitia seleksi) ---dugaan penulis---tidak mengacu ke Perda Nomor 2 Tahun 2016.

Oleh karena itu, otoritas Gubernur sebagai kepala daerah, yang sudah barang tentu sebagai pemilik modal dan pemegang saham, karena BUMD bersumber dari APBD salahsatunya, maka dalam konteks kewenangan dan konteks politik memiliki peran penting dalam membuat keputusan.

Selama ini ada kesan, bahwa BUMD Riau "menetek" pada APBD dan tidak berkontribusi pada PAD. Inilah tantangan dan agenda ke depan yang harus dijawab oleh Komisaris dan Direksi terpilih, menyuguhkan harapan baru bagi rakyat Riau ditengah pandemi Covid-19 yang sangat membutuhkan lapangan kerja.

BUMD harus hadir memberikan solusi bukan beban bagi APBD setiap tahun, termasuk bukan menghabiskan dana APBD tanpa memberikan rapor kinerja bisnis yang baik dan deviden bagi Pemerintah Daerah. Sekian.

Penulis: H. Zulfan Heri, S.IP, M.Si (Direktur Eksekutif ISDP, Anggota DPRD Riau Periode 2004-2009 dan 2009-2014)