PEKANBARU - Kejaksaaan Tinggi (Kejati) Riau menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi pengadaan video wall Dinas Komunikasi Informatika, Statistik dan Persandian Kota Pekanbaru, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp3,9 miliar.

Kepala Kejati Riau, Mia Amiati menjelaskan, dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka salah satu diantaranya melibatkan pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemko Pekanbaru berinisial VH alias Vinsensius selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), dan dari pihak swasta berinisial berinisial AMI yang merupakan Direktur CV Solusi Arya Prima, perusahaan penyedia monitor video wall ilegal itu.

"Hasil penyidikan semuanya sepakat untuk menetapkan dua orang tersangka itu yang melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan pengadaan video wall di Pemko Pekanbaru," terang Mia di Kantor Kejati Riau, Kamis (6/1/2020).

Namun penahanan terhadap kedua tersangka itu belum dilakukan karena saat ini penyidik dari Pidsus Kejati Riau tengah memproses berkas perkaranya.

Kemudian Mia menjelaskan, penyelidikan perkara korupsi pengadaan video wall di Pemko Pekanbaru itu berawal saat dua unit monitor video wall itu mengalami kerusakan.

"Jadi disana ada 15 unit monitor video wall, dua diantaranya mengalami kerusakan, saat Diskominfotik Pemko Pekanbaru menghubungi perusahaan layar monitor resmi, mereka tidak mau memperbaikinya karena tidak merasa ada memasukkan unit ke Pemko Pekanbaru," kata Mia.

Berdasarkan kejanggalan tersebut, Kejati Riau kemudian melakukan penyelidikan darimana sebenarnya pengadaan monitor video wall itu. Dimana ada sebesar Rp 4,4 milyar anggaran APBD yang dianggarkan untuk pengadaan 15 unit monitor video wall itu.

"Penyelidikan kita lakukan dengan memeriksa sedikitnya 18 saksi, termasuk Eka Firmansyah Putra selaku pengguna anggaran sekaligus pelaksana tugas Diskominfotik Pekanbaru, hingga ada dua tersangka sekarang pada kasus ini," lanjutnya.

Mia membeberkan, modus operandi yang dilakukan oleh kedua tersangka adalah dengan melakukan pengadaan tetap dengan menggunakan katalog elektronik. Akan tetapi, faktanya pengadaan tersebut tidak sesuai dengan yang tertera di katalog elektronik.

"VH ini kemudian bersekongkol dengan AMI untuk mengadakan monitor tanpa melalui jalur pabrikan resmi atau secara ilegal. Peralatan elektronik itu tidak memiliki dokumen resmi termasuk garansi. Dampaknya ya ini peralatan yang digunakan tidak sesuai keinginan dan mudah rusak," tutur Mia.

Terakhir Mia menambahkan, keduanya dijerat dengan dakwaan Primair Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Serta dakwaan subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembarantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. ***