BANGKINANG - Pada hari keempat keberadaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kampar, Riau, sejumlah pejabat terkait proyek Jembatan Waterfront City Bangkinang kembali diperiksa, Sabtu (7/9/2019).

Pantauan GoRiau.com sejak pagi, ada Rusdi Hanif, Roy Martin, Kani. Mereka adalah Tim Provisional Hand Over (PHO) Jembatan Waterfront City Bangkinang.

Usai diperiksa hanya Rusdi yang bersedia dimintai keterangan. Sementara Roy, yang keluar bersama Rusdi, buru-buru memasuki mobil seakan-akan menghindari awak media.

Sementara Kani, bahkan mengelabui wartawan. Kani yang keluar saat azan ashar, meminta waktu salat kepada wartawan yang ingin meminta keterangan. Tapi ternyata dia tak pernah kembali ke ruang penyidik KPK hingga malam hari.

Rusdi Hanif keluar ruang menyidik menjelang pukul 18.00 WIB. Rusdi memilih irit bicara dan menjawab pertanyaan sejumlah awak media sambil berjalan menuju mobilnya. Hanif yang kini menjabat Kabid Jalan dan Jembatan Dinas PUPR Kampar, mengaku ditanyai KPK terkait perannya sebagai PHO proyek bernilai Rp114,6 miliar tersebut.

''Ditanya terkait tupoksi sebagai anggota panitia PHO. Itu saja,'' jawabnya singkat sambil memasuki mobil.

Beberapa saat setelah pejabat PUPR Kampar dari Tim PHO itu diperiksa, menyusul masuk ruangan penyidik di Mapolres Kampar itu, Syahrul Aidi. Anggota DPR RI ini datang dengan wajah ceria. Pria yang dua priode duduk di DPRD Kampar itu juga sempat mengobrol dan duduk dengan wartawan sejumlah ke ruangan penyidik. Syahrul yakin dirinya tidak terkibat masalah ini.

''Mungkin ini hikmahnya saya hanya anggota biasa pada 2014-2019, saya juga tak masuk Banmus dan Banggar. Memang saya Wakil Pimpinan pada 2009-2014. Atas peran itulah saya diperiksa hari ini. Sebagai warga negara yang baik saya penuhi ini,'' sebut Syahrul.

Syahrul mengaku dipanggil kapasitasnya sebagai Wakil Ketua yang dijabatnya hingga 2013. KPK ingin mengetahui histori awal proyek yang merugikan negara senilai Rp39,2 miliar itu. Syahrul membeberkan ada MoU antara Bupati dan Pimpinan DPRD pada November 2013.

''Tapi itu batal karena permasalahan ganti rugi lahan, lalu dilanjutkan pada 2014 ketika saya hanya anggota biasa. Makanya saya tak tahu, justru saya berterima kasih juga supaya tak ada asumsi macam-macam di tengah masyarakat. Tak ada yang perlu ditakutkan, ini bagi masyarakat sebagai pelajaran hukum,'' sebut Syahrul. ***