JAKARTA, GORIAU.COM - Sekitar 80 persen penyelesaian tata batas partisipatif RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau sudah terselesaikan. Sisanya dalam waktu dekat diharapkan akan segera selesai.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono, Selasa (25/9/2012) mengatakan, jika persoalan tuntas RAPP dapat segera beroperasi kembali seperti semula.

Kemenhut, kata Bambang, pada prinsipnya mendukung operasionalisasi RAPP di Pulau Padang. Pasalnya, pengelolaan HTI yang dilakukan bukan saja mendukung kelestarian hutan di pulau tersebut, tapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.

Selain mendorong pelaksanaan tata batas partisipatif, Kemenhut juga akan membuka peluang untuk pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang bisa menjadi jembatan antara perusahaan dengan masyarakat.

''Untuk kawasan yang memang layak akan kami kembangkan HTR sehingga bisa saling mendukung dengan pembangunan HTI yang dilakukan RAPP,'' kata Bambang di Jakarta, Selasa (25/9/2012).

Seperti diketahui lanjutnya, Kemenhut menghentikan operasi RAPP di Pulau Padang, sejak Januari 2012, karena adanya keberatan dari sejumlah warga.

Kemudian Kemenhut mensyaratkan dilakukan tata batas partisipatif agar RAPP bisa beroperasi kembali di lokasi tersebut.

Sejauh ini, tata batas partisipatif yang dilakukan sejak Maret 2012 di Pulau Padang itu sudah mencapai 80 persen dari total panjang 230 kilometer.

Proses tata batas partisipatif selesai pada sebagian besar desa yang ada, tinggal menyisakan penyelesaian di dua desa dari 14 desa yang ada.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengatakan, langkah untuk melakukan tata batas partisipatif di HTI Pulau Padang tersebut sekaligus bisa menjadi pembuktian bagi RAPP bahwa mereka berkomitmen untuk mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan.

''Jika diberikan izin beroperasi, maka RAPP bisa menunjukkan bagaimana pengelolaan hutan tanaman yang baik. Jadi masyarakat bisa melihat sendiri dan diharapkan tidak ada lagi penolakan,'' ungkapnya.

Purwadi menambahkan, penghentian operasional RAPP berarti timbul kerugian karena tentundanya kegiatan penanaman.

Hal itu secara tidak langsung juga mempengaruhi pencapaian target penanaman secara nasional.

Selain itu, kata dia, dihentikannya operasional RAPP di Pulau Padang juga menjadi preseden buruk untuk investasi di tanah air.

Pasalnya, langkah tersebut diambil hanya didasarkan penolakan dari sekelompok orang.

''Bukan tidak mungkin situasi yang sama bakal dialami oleh perusahaan lain,'' ucapnya.

Untuk itu, Purwadi berharap, tata batas partisipatif yang dilakukan bisa memperkuat legalitas RAPP di Pulau Padang ke depan.

''Kami sangat berharap pemetaan partisipatif yang dilakukan benar-benar berdampak positif. Sehingga ke depan tidak ada lagi penghentian operasional hanya karena ada satu dua orang yang keberatan,'' tukasnya. (nti/rpc)