SUDAH 75 tahun merdeka, Indonesia masih berada pada kelompok negara berkembang, belum tergolong negara maju. Alasan yang paling kuat penyebabnya adalah karena kualitas Sumber Daya Manusianya (SDM) masih rendah.

Negeri yang jauh di belakang kita merdekanya, seperti Singapura sudah negara maju. Begitu pula Malaysia,Thailand dan Philipina, sudah berada pada garis batas negara maju. Beralasan sekali jika kita merasa sedih dengan kondisi tersebut.

Kenapa kualitas SDM kita rendah? Salah satu penyebab utamanya adalah kualitas pendidikan. Kita pernah dengar bahwa pendidikan Gatot alias gagal total. Sekedar ilustrasi, komentar para pengamat maupun pakar sebagai berikut; Data perguruan tinggi (Kompas, 29 Januari 2020) di Indonesia berjumlah 4.670 buah. PTN 150 buah dan swasta 4.520. PT yang sudah akreditasi 2.259 (sekitar 45%) dengan rincian, akreditasi A sebanyak 96 buah, B sebanyak 880 buah dan C sebanyak 1.283 buah. Sisa yang belum akreditasi yaitu 2.421 buah (sekitar 55%). Jumlah sebesar ini mau diapakan? Beralasan pula kita kaget melihat data tersebut.

Pertanyaan berikut, sudah begitu lama kenapa dibiarkan terus? Ada data lagi walaupun sudah lama (Diknas 2015) tapi tidak mengalami perubahan signifikan sampai sekarang yaitu; Dari jumlah penduduk sekitar 240 juta, tamatan Sekolah Dasar 60 %, SLTP/SLTA 29 % dan Perguruan tinggi sekitar 11 % itupun kualitasnya sebagian besar belum memuaskan.

Pada seminar Sumber Daya Manusia yan ditaja STIE Persada Bunda dengan nara sumber Dessy Aliantrina, PhD, tanggal 15 Februari 2020, tema seminar: Implentasi Revolusi Industri 4.0. Salah satu yang patut dicatat saat itu bahwa hanya 48% negara di Asia Tenggara yang siap dengan Revolusi Industri 4.0. Sisanya, 52% belum siap, termasuk Indonesia.

Adapun penyebab yang hangat didiskusikan adalah rendahnya kualitas pendidikan, terutama di perguruan tinggi (PT). Dapat dihitung dengan jari PT kita yang masuk rangking ratusan dunia. Yang sangat relevan dan yang utama di sebuah PT tentu dosen. Secanggih apapun sarana, fasilitas kampus, sehebat apapun kurikulum, jika dosen tak berkualitas, outputnya tentu tak berkualitas.

Syarat dosen saat ini harus S2 dan sudah dipenuhi oleh semua PT, namun sebagian besar minus soft skill dan minus wawasan.

Padahal Revolusi Industri 4.0 butuh dosen-dosen sebagai motivator, pendidik bukan hanya pengajar, memahami konsep teknologi digital, sehingga ia mampu menggiring mahasiswa ke arah peningkatan produktivitas sekaligus efisiensi melalui canggihnya teknologi digital.

Saat ini dosen tidak hanya berbasis kompetensi atau kognitif tapi yang lebih penting menguasai soft skill, yaitu berkomunikasi santun. Karakter dan integritas mutlak adanya, apalagi dosen sebagai agen perubahan, sehingga mahasiswa betul-betul tergugah dan sadar bahwa tantangan ke depan semakin berat.

Sekarang apa yang harus kita lakukan dan harus dimulai, yaitu pembenahan besar-besaran proses perkuliahan di perguruan tinggi. Pertama, input atau rekruit mahasiswa harus diubah, mahasiswa masuk PT harus dites atau diuji, artinya harus disaring. Jangan takut kekurangan mahasiswa.

Kedua, rekruit dosen mutlak harus profesional, jauhi KKN, di tes, diwawancarai, kalau perlu ada masa percobaan. Jangan seperti sekarang, S2 langsung jadi dosen.

Ketiga, pemerintah harus serius mengawasi PT, terutama masalah mutu, jangan hanya masalah administratif saja yang diawasi. Yang tak kalah penting adalah mendukung program pemerintah melalui Menteri Pendidikan yang melakukan perubahan total dan menjanjikan, di mana sasarannya adalah peningkatan kualitas SDM berbasis produktivitas yang efisien melalui teknologi digital yang semakin canggih.

Kita optimis dan siap melakoni Revolusi Industri 4.0, walaupun awalnya kita kaget dan sedih.***

Drs H Iqbal Ali, MM adalah dosen dan Ketua Dewan Pembina Ikatan Keluarga Minang Riau (IKMR).