JAKARTA - Presiden Joko Widodo alias Jokowi dinilai melanggar konstitusi melalui penyalahgunaan kuasa dengan turut campur dalam proses sebelum, saat dan setelah Pemilu.

Demikian salah satu kesimpulan Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 yang terselenggara di Jakarta dan Yogyakarta pada Jumat (19/4/2024).

Dikutip dari Kompas.com, Sidang Pendapat Rakyat digelar berdasarkan dugaan kuat bahwa Pemilu 2024 setidaknya terjadi 5 jenis kejanggalan fundamental, yakni pelanggaran terhadap etika dan prinsip keadilan pemilu, pelanggaran terhadap prinsip netralitas pejabat negara dalam pemilu, serta penyalahgunaan kekuasaan melalui institusi negara dan sumber daya negara.

Lalu, pelanggaran netralitas penyelenggara pemilu yang mandiri, profesional, berintegritas serta efektif dan efisien; serta kejanggalan pengondisian skenario satu putaran.

Sidang Pendapat Rakyat ini mendorong ketua dan anggota majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) harus mempertimbangkan keseluruhan suara-suara kritik masyarakat terhadap kebijakan dan tindakan Presiden RI Joko Widodo yang telah melakukan pelanggaran etika politik.

"Sidang Pendapat Rakyat ini juga mendorong agar majelis hakim MKRI meminta pertanggungjawaban konstitusional dari Presiden Joko Widodo," kata Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto membacakan kesimpulan dan rekomendasi secara daring, Ahad (21/4/2024).

Dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pilpres 2024, kata Sulistyowati, MK harus mengedepankan nilai dari konstitusi (UUD 1945); nilai etika, substansi dan keadilan dalam proses dan hasil Pemilu yang tidak hanya bersifat formalitas; serta kesetaraan dan keterwakilan warga negara yang terlibat dalam proses demokrasi Pemilu.

"Kemudian integritas yang anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); dan penegakkan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu," ucapnya.

Berikut ini 6 kesimpulan dan rekomendasi sidang yang diikuti oleh sejumlah tokoh tersebut, meliputi Prof. Ramlan Surbakti, Prof. Sulistyowati Irianto, Prof. R. Siti Zuhro, Dr. Sukidi, Dr. Busyro Muqoddas, Prof. Zainal Arifin Mochtar, Bambang Eka Cahya Widodo, dan Prof. Fathul Wahid.

1. Menyatakan bahwa segala upaya pengubahan hukum ketika telah masuk tahapan Pemilu adalah tindakan terlarang dan tidak dapat dibenarkan.

a. Segala bentuk pengubahan aturan mendadak dalam masa pemilu memuat konflik kepentingan dan melemahkan integritas pemilu.

b. Larangan ini dibutuhkan agar cara tersebut tidak berulang pada pemilu-pemilu berikutnya sehingga merusak sendi demokrasi dan integritas pemilu.

2. Menyatakan Presiden melanggar konstitusi melalui penyalahgunaan kuasa dengan turut campur dalam proses sebelum, saat dan setelah Pemilu.

a. Mengikat presiden pada satu aturan yang dapat membatasi modus manipulasi hukum pemilu, kesadaran pemilih, penghitungan suara, dan manipulasi pemilu yang memanfaatkan sumberdaya seperti anggaran publik dan institusi negara seperti kepolisian untuk mempengaruhi pemilih.

b. Mencegah instrumentalisasi institusi TNI/Polri dan ASN dalam Pemilu untuk mempengaruhi pemilih atas pilihannya lewat segala bentuk persuasi, transaksi materil maupun nonmaterial.

c. Mencegah ikut campur presiden dalam lobi, kampanye Pemilu, atau penyelarasan program pemerintah dengan program kandidat.

3. Menyatakan Pemilu 2024 adalah pemilu yang tidak adil karena praktik politik nepotisme Presiden RI. Oleh karena itu:

a. Mencabut Putusan MKRI No.90 tahun 2023 yang mengubah persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden boleh di bawah 40 tahun, namun telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota).

b. Pencabutan tersebut akan memungkinkan institusi MKRI memiliki posisi tegas yang tidak berpihak pada segala peluang bagi praktik dinasti politik dan KKN.

4. Mengingatkan MK agar memutuskan hasil Pemilu Presiden 2024 dengan menjunjung tinggi hal-hal berikut:

a. UUD 1945 sebagai fondasi penting melalui penghormatan pada:

- Konstitusionalisme demokratis sebagai fondasi dan spirit pencegahan penyalahgunaan kekuasaan

- Supremasi etika kenegaraan dengan mengacu pada bukti yang berbasis pada berbagai keadaban pemimpin bervisi ilmuwan etis yang profesional.

- Anti-KKN demi menutup potensi korupsi pada kepresidenan sesuai UU 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

- Keadilan substansi yang mengutamakan seluruh proses demokrasi serta rasa keadilan masyarakat yang terlibat dalam proses demokrasi tersebut, melampaui batas-batas perselisihan tentang hasil penghitungan suara.

b. Supremasi Hukum. Aturan hukum tidak boleh digunakan secara tidak benar untuk memaksakan atau mendorong maksud dan tujuan KKN ke dalam formalisme yang seakan-akan konstitusional.

c. 8 parameter penilaian Pemilu Presiden 2024 melalui Hukum Pemilu Demokratis yang menjamin: kepastian hukum, kesetaraan warga negara yang tergambar pada daftar pemilih, kesetaraan keterwakilan dan pemungutan penghitungan suara, persaingan bebas dan adil antar peserta Pemilu Presiden, penyelenggara Pemilu yang mandiri, profesional berintegritas serta efektif dan efisien, partisipasi pemilih dalam penyelenggaraan Pemilu, proses pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi penghitungan suara berdasarkan tujuh asas Pemilu, sistem penegakkan hukum dan penyelesaian sengketa Pemilu yang adil dan tepat waktu; serta nir kekerasan.

5. MKRI harus mempertimbangkan bahwa segala hasil putusan mengenai sengketa Pemilu 2024 akan berdampak pada masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan alasan:

a. Menciptakan referensi kolektif dan sejarah bahwa pernah ada titik awal normalisasi KKN dan etika politik yang buruk.

b. Menjadi ruang baru politik tafsir nasionalisme masa depan yakni jika MKRI berani mengambil putusan berpihak pada supremasi etika politik sehingga sejarah kali babak baru Indonesia berani bertindak tegas terhadap kroni politik.

c. Menggugurkan Indonesia Emas 2045 akibat efek bola salju dari hilangnya integritas politik dan supremasi hukum.

6. Perlunya aturan baru untuk menguatkan eksistensi integritas bagi Pemilu-Pemilu berikutnya.

a. Aturan ini mengikat individu atau lembaga terkait agar bergerak menurut prinsip integritas. Ini mencakup, misalnya, menaikkan standar ataupun kualitas persyaratan baik itu menyangkut kompetensi dan rekam jejak individu ataupun menyangkut penyelenggaraan pemilu.***