Adakah yang lebih spektakuler dari kejatuhan Negara Turki Usmani di tahun 1922? Sebuah entitas politik yang mewarisi kekuasaan 700 tahun. Di tahun itu Turki Usmani mendapat julukan the sick man of Europe. Julukan yang menyakitkan memang. Tetapi, orang-orang di masa itu sepakat Turki Usmani (Ottoman Empire) ibarat lelaki tua yang sakit-sakitan dan tak tertolong lagi. Satu imperium yang kekuasaannya pernah terbentang dari Sungai Danube di Jerman hingga Sungai Nil di Mesir, ambruk tak berdaya.

Turki Usmani adalah sebuah contoh cemerlang dari kegagalan negara (state failure). Bertumpuknya utang akibat kekalahan perang, pemberontakan dimana-mana, ditambah perjanjian demi perjanjian antar negara yang diteken Turki Usmani lebih banyak melucuti kekuatannya. Hal-hal itu yang membuat Turki Usmani dianggap sebagai negara gagal karena tidak mampu memenuhi fungsi-fungsi mendasar suatu negara: keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas masyarakat.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan negara gagal (failed state)? Batas-batas apa yang menjaga negara dari kegagalan?

Negara gagal adalah suatu konsep yang dijumpai dalam studi pembangunan politik. Belum ada definisi pasti dari apa yang dimaksud dengan negara gagal. Jika mengutip Naazneen H. Bazma dalam Britannica, negara gagal adalah negara yang tidak mampu menjalankan dua fungsi mendasarnya: tidak dapat memproyeksikan otoritas atas wilayah dan rakyatnya, dan tidak dapat melindungi batas-batas nasionalnya (national boundaries).

Dari pengertian itu kita dapat membuat tolok ukur apakah suatu negara dianggap gagal atau tidak. Pertama, suatu negara dianggap gagal jika otoritasnya atas wilayah dan rakyatnya tidak dapat lagi dipertahankan. Dalam ilmu Tata Negara, wilayah dan rakyat adalah unsur terpenting suatu negara. Tidak ada negara tanpa wilayah dan rakyat. Karena pengertian negara sendiri adalah institusi yang memiliki kuasa terhadap kelompok masyarakat dalam satuan wilayah tertentu.

Lalu apa yang membuat negara kehilangan otoritas (wewenang) terhadap wilayah dan rakyatnya? Untuk menjawab ini kita juga perlu bergerak ke pengertian otoritas.

Ada sebab yang sulit dijelaskan mengapa kita terlalu alergi oleh kata otoritas. Bagi kebanyakan orang kata itu jadi semacam momok perkasa yang seringkali melindas apa saja yang dilaluinya. Menurut Robert Bierstedt (1950) otoritas adalah “Kekuasaan yang dilembagakan”. An institutionalized power. Sedangkan bagi Weber, otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasi. Dari kedua pengertian tadi mungkin kita dapat mengartikan otoritas sebagai pelembagaan kekuasaan yang diberi legitimasi (keabsahan).

Apa wujudnya? Dalam konteks politik modern ia adalah negara (nation-state). Negara adalah lembaga kekuasaan yang bagi masyarakatnya layak dan berhak untuk dipatuhi (legitimate power). Apa yang membuat otoritas kita bayangkan sebagai wajah bengis itu karena sejarah panjang negara itu sendiri yang penuh pemaksaan dan penindasan. Tidak heran jika kebanyakan teoritisi mengartikan negara sebagai kekuasaan yang punya hak monopoli terhadap paksaan fisik.

Kekuasaan negara sepertinya memang perlu memiliki daya paksa. Menurut Talcott Parsons, kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin terlaksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat. Warga negara memiliki kewajiban yang mengikat. Dan jika warga negara melanggarnya, masih menurut Parsons, negara sah menggunakan pemaksaan berupa sanksi-sanksi negatif. Karena negara adalah pemilik otoritas, maka bagi warga negara sanksi tersebut berhak dan layak diterima. Inilah bagaimana kita menggambarkan kekuasaan negara ditopang oleh dua sayapnya: otoritas sebagai daya paksa dan legitimasi sebagai dalih penerimaannya.

Namun, sejauh mana sebenarnya kewenangan negara dapat diterima oleh warga negara? Sepanjang kewenangan itu dijalankan sesuai dengan undang-undang. Tetapi jika ia melenceng, atau bahkan mengangkangi undang-undang, otoritas berubah menjadi otoriter. Pada batas-batas tertentu masyarakat tidak dapat menerimanya dan terjadilah pembangkangan sipil (civil disobedience).

Pada tahap berikutnya masyarakat tidak lagi menerima negara sebagai otoritas yang sah. Kekuasaan yang didelegitimasi berarti kekuasaan yang gagal. Pada tahap ini kita dapat menyebutnya sebagai negara gagal.

Tetapi, ada satu hal yang tidak boleh luput dari penjelasan di atas. Negara adalah kesatuan abstrak. Yang menjalankan kekuasaannya adalah pemerintah. Ini berarti negara gagal bermula dari pemerintah yang gagal. Sehingga tepat jika Naazneen H. Bazma memberi penjelasan lebih lanjut: “...kegagalan negara terwujud ketika suatu negara tidak dapat lagi memberikan keamanan fisik, lingkungan ekonomi yang produktif, dan sistem politik yang stabil bagi rakyatnya.”

Keamanan, ekonomi, dan politik. Bagaimana negara mengatur ketiga aspek tersebut? Dengan adanya pemerintah dimana negara mendelegasikan kekuasaan kepadanya. Itulah batas-batas bagi kegagalan suatu negara. Jika pemerintah mampu memberikan keamanan, lingkungan ekonomi yang produktif dan adil, dan sistem politik yang stabil dan terjaga oleh undang-undang, maka, negara dapat dipertahankan. Sebaliknya, jika pemerintah tidak dapat menyediakan hal-hal tadi, maka, negara dianggap gagal.

Jika pertanyaan diajukan lebih jauh lagi, apa yang membuat pemerintah gagal dalam menjalankan fungsi mendasar negara? Pernyataan dari Robert I. Rotberg ini mungkin dapat kita telaah:

Kegagalan negara sebagian besar adalah buatan manusia, bukan kebetulan. Rapuhnya kelembagaan dan cacat struktural berkontribusi pada kegagalan, tetapi, kekurangan itu biasanya mengingatkan kembali terhadap keputusan atau tindakan laki-laki (dan jarang yang dari perempuan). Jadi, kegagalan tersebut adalah kesalahan dalam kepemimpinan yang sepanjang sejarah telah menghancurkan negara untuk keuntungan pribadi.”

Menurut Rotberg – Ia mengambil Negara Zaire di bawah kepemimpinan Mobutu sebagai contoh kasus – kegagalan negara dalam catatan sejarah lebih sering disebabkan oleh kepemimpinan yang korup. Pemimpin yang korup ini menciptakan kondisi kelembagaan yang rapuh (institutional fragilities) dan kecacatan struktural (structural flaws). Sehingga fungsi-fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak berjalan semestinya.

Bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara ini menuju negara gagal seperti yang pernah disampaikan oleh Waketum Partai Demokrat, Ibas Yudhoyono?

Terlalu berlebihan sepertinya. Meskipun indeks demokrasi Indonesia semakin menurun, dan berada pada titik terendah sejak reformasi bergulir, negara ini masih dapat mempertahankan fungsi-fungsinya yang fundamental.

Tetapi, bagi mereka yang peduli terhadap konsep negara gagal, agaknya perlu mewaspadai jika situasi yang menekan kehidupan demokrasi belakangan ini (misalnya perburuan terhadap pembuat mural oleh aparat) masih terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia semakin didorong ke tubir kegagalan bernegara. ***

* Mohammad Ali Dosti adalah seorang PNS Pemkab Pelalawan.