ISTANBUL - Jumlah korban tewas akibat bencana gempa bumi dahsyat yang mengguncang Turki dan Suriau pada Senin (6/2/2023), terus bertambah. Data terkini, jumlah korban tewas sudah mencapai 3.800 orang.

Dikutip dari Kompas.com yang melansir AFP, Wakil Presiden Turki Fuat Otkay mengatakan, sebanyak 2.379 orang telah ditemukan tewas di Turki, sedangkan korban terluka 14.483 terluka.

“Sebanyak 7.840 orang berhasil dievakuasi hidup-hidup dari puing-puing setelah 4.748 bangunan hancur,” tambah Otkay, sebagaimana dikutip dari Kantor berita AFP.

Di Suriah, sebanyak 1.444 orang telah ditemukan tewas akibat gempa, sedangkan sekitar 3.500 orang terluka. Angka itu dilaporkan oleh Pemerintah Damaskus dan petugas penyelamat di wilayah barat laut yang dikuasai pemberontak.

Dengan demkian, total jumlah korban tewas akibat gempa di Turki dan Suriah telah 3.823 orang.

Terhambat Badai Salju

Upaya penyelamatan korban gempa di Turki dilaporkan telah terhambat oleh badai salju musim dingin yang menutupi jalan-jalan utama dengan es dan salju.

Dilansir Reuters, koneksi internet yang buruk dan jalan yang rusak antara beberapa kota yang paling parah terkena dampak gempa di Turki telah menghambat upaya untuk menilai dan mengatasi dampak bencana.

Suhu udara di beberapa daerah diperkirakan telah turun hingga mendekati titik beku dalam semalam. Hal ini pun diyakini memburuk kondisi orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan atau kehilangan tempat tinggal.

Hujan turun pada hari Senin setelah badai salju melanda Turki pada akhir pekan lalu. Namun, banyak warga dilaporkan takut kembali ke kediamannya untuk sekadar mengambil jaket atau sepatu. Mereka pun pada akhirnya nekat bermalam di jalanan meskipun suhu turun di bawah nol derajat Celcius.

Sejumlah penduduk kota yang ketakutan memilih berkerumun di sekitar api unggun untuk mendapatkan kehangatan. Salah satu yang melakukannya adalah Mustafa Koyuncu di Kota Sanliurfa, Turki.

Dia duduk berkerumun di dalam mobil stasionernya bersama istri dan kelima anaknya, takut bergerak. "Kami menunggu di sini karena kami tidak bisa pulang. Semua orang takut," kata pria berusia 55 tahun itu kepada AFP.***