PEKANBARU - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau menilai kinerja keterbukaan informasi di pemerintahan daerah masih pasif. Hal ini berdasarkan penelusuran informasi publik pada kanal website pemerintah daerah, yang difokuskan pada informasi kelembagaan PPID dan informasi kebijakan anggaran tahun 2016-2019.

"Informasi - informasi itu dilakukan perengkingan berdasarkan kadar kecukupan informasi, dengan bobot setiap komponen yang ditetapkan seperti bobot kelengkapan kelembagaan 20 persen, perencanaan anggaran 40 persen, realisasi anggaran 20 persen, dan pertanggungjawaban 20 persen. Bobot ini ditentukan atas dasar jumlah jenis informasi setiap tahapan penganggaran daerah," ujar Taufik selaku Manager advokasi Fitra Riau.

Berdasarkan perhitungan tersebut, Fitra mengatakan faktanya keterbukaan informasi berbasis website di daerah jauh lebih rendah dibandingkan provinsi yang sudah mencapai 83,9 persen. Sementara yang paling rendah adalah Kabupaten Kepulauan Meranti dengan nilai 14,6 persen.

"Berdasarkan ketersediaan dan kadar kecukupan informasi berkaitan kebijakan anggaran Pemprov sudah cukup tinggi sebesar 83,9 persen. Disusul Kabupaten Inhu 48,8 persen, Pekanbaru 32,5 persen, Bengkalis 29,6 persen, Inhil 29,3 persen, Kampar 28,8 persen, Rohul 26,2 persen, Dumai 24,5 persen, Siak 24,0 persen, Kuansing 20 persen, Rohil 19, 2 persen, Pelalawan 15,9 persen, dan Meranti 14,6 persen," jelasnya.

Selain itu, fakta keterbukaan informasi di atas seakan bertolak belakang dengan banyaknya sengketa informasi yang terjadi, baik terhadap Pemprov Riau maupun 12 kabupaten/kota. Hal itu dilihat berdasarkan data registrasi sengketa informasi di komisi informasi Provinsi Riau, sepanjang 2016 - 2019 terdapat 103 sengketa informasi publik.

"Artinya, dengan minimnya publikasi informasi dimanakah webaite, kemudian masyarakat melakukan akses informasi ke badan publik tertentu, akibat sulitnya mendapatkan informasi maka berujung sengketa di KI Riau," ungkapnya.

Oleh karena itu, Taufik menuturkan pihaknya berharap pemerintah daerah melalui PPID lebih proaktif untuk membuka informasi berkaitan kepentingan publik melalui kanal website. Karena sistem informasi yang tertutup tentunya menjadi rawan bagi masyarakat untuk merasa curiga.

"Kita juga meminta agar sistem pengarsipan dan dokumentasi informasi yang masih kocar - kacir ini bisa diperbaiki, sehingga begitu ada permintaan informasi dibadan publik tertentu justru saling lempar tanggung jawab," pungkasnya. ***