PEKANBARU - Anggota DPRD Riau Fraksi Gerindra, Marwan Yohanis membagikan ceritanya selama menjadi pasien Covid-19 yang harus mengalami masa kritis selama hampir dua Minggu di RS Prima Pekanbaru.

Kepada GoRiau.com, Politisi asal Kuansing ini menceritakan dirinya sudah cukup lama mengalami tenggorokan yang gatal seperti ada rambut yang menyangkut, namun setelah dia melakukan rapid dan swab hasilnya non-reaktif dan negatif.

Kemudian, pada tanggal 3 September 2020, Mantan Ketua DPRD Kuansing ini kembali melakukan rapid test setelah satu orang rekannya di DPRD Riau dinyatakan positif Covid-19, namun lagi-lagi hasilnya non-reaktif.

Setelah itu, dia mampir ke toko obat untuk membeli obat rutin diabetes dan tensi ke salah satu apotek. Saat itu, hujan lebat mengguyur Kota Pekanbaru, dia memaksakan keluar mobil untuk masuk ke apotek.

"Balik dari apotek, saya pulang istirahat, tapi setelah maghrib badan saya panas dan kepala sakit. Saya menghibur diri, mungkin ini faktor umur saja. Tapi makin lama kok badan saya makin tidak enak, mungkin ini gejalanya saya pikir," ujar Anggota Komisi II DPRD Riau ini, Senin (19/10/2020).

Malam itu, juga dia memutuskan untuk berobat ke RS Prima, dia berangkat dari rumahnya di Jalan Kartama. Namun, baru sampai di Soekarno Hatta dia merasa tidak tahan lagi dan akhirnya memutuskan berobat di RS Eka Hospital yang terdekat saat itu.

Sampai di RS Eka Hospital, Marwan mendapati dirinya dalam kondisi suhu 39,8 derajat dan tensinya 210. Dia kemudian di rawat dan diberi obat tensi serta penurun suhu serta dipasang infus oleh rumah sakit.

Besoknya, jam 1 siang suhu dan tensinya sudah normal hingga diperbolehkan pulang serta dibekali oleh obat. Saat itu, dokter tidak memberitahukan apa-apa. Dia langsung pulang untuk beristirahat.

Tengah malam tepatnya pukul 3 pagi, dia merasa badannya makin panas. Namun, dia mencoba menahan diri sampai pagi supaya bisa minum obat setelah sarapan sesuai dengan saran dokter.

Pagi itu dalam kondisi tidak tidur, Marwan menghubungi dokter langganannya di RS Prima menceritakan kondisi tubuhnya, dokter langsung meminta dia untuk ke RS Prima dan masuk ke ruangan Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Dalam ruangan IGD, Marwan menjalani rapid test dan hasilnya non-reaktif. Namun, dia merasakan badannya semakin panas dan terus bolak balik kamar mandi karena mencret.

Jam setengah 5 sore, dia menjalani rontgen dan hasil rontgen menunjukkan bahwa dia kemungkinan besar terpapar virus Corona. Dokter langsung menyarankan dia untuk swab test dan wajib isolasi di ruangan yang sudah disediakan.

Setelah dua hari di isolasi, Marwan kembali di-swab, dan dokter memberitahukan kepadanya untuk menjaga pola makan supaya imunitas tubuhnya terjaga 

"Dokternya cukup arif menurut saya, dia tanya 'apa bapak sudah makan? bapak harus banyak makan karena bapak positif'," katanya.

Selama menjalani masa isolasi ini, Marwan menjalani swab dua, tiga hingga empat kali tapi hasilnya tetap positif. Dia mengaku tidak terkejut dengan hasil itu, karena kondisi badannya terus melemah.

"Saya juga tidak yakin kalau hasilnya negatif karena kondisi ke arah membaik belum ada. Fluktuasi suhu saya luar biasa, terus di angka 38 dan 37, pernah di 36 tapi tidak lama naik lagi ke 38 dan 39. Luar biasa naiknya. Begitu juga gula dan tensi saya," ungkapnya.

Apalagi, selama 10 hari itu dia terus mencret-mencret dan kondisi badan melemah, bahkan untuk berjalan ke kamar mandi saja dia merasakan lelah yang luar biasa. 

Kondisi ini dinilainya akibat dirinya tidak nafsu makan, dari satu piring porsi makanan yang diberikan rumah sakit, untuk menghabiskan satu sendok saja untuk syarat minum obat, dia sudah merasa tidak nafsu lagi.

Hari ke-11 isolasi, Marwan merasa mencretnya berhenti dan dia mulai merasa lapar. Saat itu, dokter mempersilahkan jika Marwan mau makan apa saja, jika memang menu di rumah sakit tidak membuat dia nafsu makan.

Hari ke-12, pagi-pagi sekali tepatnya pukul setengah 7, dia menghubungi keluarganya untuk mengantarkan lontong gulai paku dalam porsi besar, jam 8 lontong itu sudah sampai di ruangannya. Saat itu, Marwan bisa menghabiskan lontong itu sampai kenyang. 

"Sejak itu kondisi saya mulai membaik, saya bisa berdiri ke arah jendela supaya dapat matahari. Sebelum itu, saya merasakan lelah yang luar biasa, dari tempat tidur ke kamar mandi luar biasa capeknya. Karena itu tadi, saya tidak ada tenaga, makan tidak ada tapi mencret terus," ujarnya.

Marwan menyimpulkan, dokter menyerahkan keputusan 'bebas makan' itu karena dokter paham bahwa jika Marwan tidak makan-makan, itu jauh lebih buruk daripada dia harus menghindari makanan pemicu gula dan tensi.

"Saya melihat dokter ini, bilang kalau gara-gara makan gula saya naik, mereka punya obat gula, kalau tensi saya yang naik, mereka ada obatnya, tapi obat Covid-19 ini belum ada. Satu-satunya cara untuk sembuh dari Covid-19 adalah makan," jelasnya.

Pasca makan lontong gulai paku itu, kondisi Marwan terus membaik hingga pada tanggal 16 atau 17 September dia menjalani swab untuk kesekian kalinya, dan hasilnya ternyata negatif.

Tanggal 23 September, Marwan dihubungi oleh dokter melalui video call, dia menceritakan nafsu makan yang sudah kembali dan kondisinya sudah mulai bugar, namun dia mengaku bermimpi buruk.

"Saya bilang, perasaan saya tidak enak, saya mimpi buk dokter sudah tidak mau melihat saya dan ibu dokter mengusir saya dari sini, karena ibu mengatakan saya sudah negatif. Dokternya langsung tertawa dan jawab 'oh ternyata begitu, Alhamdulillah Pak Marwan sudah negatif dan boleh pulang'," ceritanya.

Jadi, lanjut Marwan, total dia mengalami masa kritis adalah 11 hari ditambah 1 hari di RS Eka Hospital. Selanjutnya, dia pulang dan menjalani isolasi mandiri di rumah.***