PEKANBARU - Asal usul sejarah marga Nasution memiliki empat versi berdasarkan cerita dan bukti sejarah, yaitu versi Tapanuli Utara, Minang Kabau, Tapanuli Selatan, yang terakhir dan diyakini versi Rambah Rokan Hulu (Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau).

Versi Rambah Rokan Hulu diyakini oleh marga Nasution yang berada di Rambah dan Kaiti, Kabupaten Rokan Hulu, Riau, sebagai versi yang benar dan bisa dipertanggunjawabkan. Karena selain memiliki alur kisah yang runtut dari awal hingga akhir peristiwa. Juga didukung dengan bukti otentik, seperti adanya makam dari masing-masing tokoh yang dikisahkan, diantaranya ada tiga makam Raja Godang sebagai bukti otentik sejarah.

Dalam sejarah versi Tarombo (silsilah garis keturunan) yang dimiliki Wakil Gubernur Riau Edy Afrizal Natar Nasution, diceritakannya kepada GoRiau.com, bahwa Sibaroar seorang anak yang terkenal dengan kesaktiannya merupakan buah perkawinan antara Sutan Iskandar Muda Pitala Guru yang bergelar Sutan Penyalinan dengan Suri Andung Jati yang bergelar Sutan Perempuan.

Sutan Iskandar Muda merupakan keturunan dari Sutan Mahmud Syah dari Kerajaan Irak. Sutan Mahmud Syah sendiri merupakan keturunan dari Sutan Harunurrasyid dari Kerajaan Baghdad, Irak, Jazirah Arab. Sementara ibu Sibaroar yang bernama Suri Andung Jati bergelar Sutan Perempuan merupakan keturunan dari Sutan Sinomba Sinoru, yang berasal dari Kerajaan Kayangan, Lumban Julu, Indonesia.

Dalam Tarombo, diceritakan Edy Nasution kepada GoRiau.com, bagaimana kisah pertemuan antara Sutan Iskandar Muda Pitala Guru (Sutan Penyalinan) dengan Suri Andung Jati (Sutan Perempuan), ayah dan ibu Sibaroar ini terjadi di Tapian Nauli, Dolok Martimbang, Danau Toba, Sumatera Utara.

Dalam sejarah versi Tarombo yang ada pada Edy Nasution, Sutan Iskandar Muda pada masa itu telah berumur lebih dari 30 tahun, namun belum juga mau menikah. Hal ini menyebabkan ayahnya marah, lalu dimasukkanlah Sutan Iskandar Muda ini ke dalam penjara dengan maksud untuk memberi pelajaran agar Sutan Iskandar Muda sebagai seorang Putra Raja yang nantinya akan meneruskan tahta kerajaan, mau menikahi seorang gadis pilihan Raja.

"Ketika dalam penjara, disuatu malam Sutan Iskandar Muda bermimpi bertemu dengan seorang putri yang sangat cantik dan mimpi itu begitu nyata seakan benar-benar terjadi. Dalam mimpi itu, dia melihat ada seorang wanita cantik sedang mandi disebuah danau (Danau Toba) yang indah dan terjadilah pertemuan diantara mereka di pinggir danau yang indah itu. Sebelum mereka berpisah, si wanita sempat memberi sehelai rambutnya sebagai kenangan agar suatu saat nanti mereka bisa bertemu kembali di danau tersebut," kata Edy Nasution, Rabu (8/1/2020).

Rupanya si wanita ini adalah seorang putri yang berasal dari Kerajaan Kayangan, dikatakan Edy Nasution seperti yang tertulis dalam Tarombo. Putri ini memiliki kebiasaan, sekali dalam seminggu selalu turun ke pinggir danau untuk melakukan mandi bunga.

"Karena kuatnya pengaruh pertemuan dalam mimpi itu, Sutan Iskandar Muda minta waktu untuk berjumpa dengan ayahnya lalu menceritakan semua yang dialaminya dalam mimpi itu, sekaligus memohon agar ia diberikan izin untuk mencari si wanita yang ada di dalam mimpinya itu," ujar Edy Nasution.

Akhirnya ayahnya mengizinkan Sutan Iskandar Muda mencari putri yang ditemuinya itu dalam mimpi. Singkat cerita, setelah melalui perjalanan panjang dari Irak Baghdad dengan mengikuti kapal para Pedagang Arab, sampailah Sutan Iskandar Muda ke tempat yang dituju. Dari pertemuan itulah akhirnya mereka menikah.

"Anak pertama mereka lahir, dan diberi nama Singa Mangaraja. Setelah Singa Mangaraja berumur sekitar 3 tahun, Suri Andung Jati ini pun hamil lagi anak yang kedua dan diberi nama Sibaroar. Kelak, setelah dewasa Sibaroar ini menjadi Raja di Kerajaan Mandailing, Padang Garugur dan bergelar Sutan Sinomba Sinoru," ungkapnya.

Seiring berjalannya waktu, Sibaroar tidak sempat mengenal ayahnya. Karena dalam Tarombo itu diceritakan, bahwa sebelum Sibaroar lahir, ayahnya yang tidak lain adalah Sutan Iskandar Muda menghilang saat terjadi perkelahian antara dirinya dengan seorang Raja bernama si Raja Abu. Hilangnya Sutan Iskandar Muda disebabkan karena perkelahian saat adu ayam dengan milik Raja Abu dalam arena adu ayam.

"Dalam perkelahian itu si Raja Abu kewalahan menghadapi Sutan Iskandar Muda yang memiliki ilmu dan kemampuan bisa menghilang dari pandangan. Karena kesaktian Sutan Iskandar Muda yang bisa menghilang inilah dia diberi gelar 'Sutan Penyalinan'. Sejak menghilang, dia tidak pernah lagi kembali bertemu isterinya (Sutan Perempuan) yang sedang mengandung Sibaroar hingga lahir," kata Edy Nasution.

Setelah dewasa, Sibaroar diangkat menjadi Raja di Negeri Padang Garugur dan memimpin selama kurang lebih 32 tahun. Sibaroar ini meninggal secara mendadak dalam usia antara 61-62 tahun. Dalam Tarombo versi Rambah dijelaskan secara gamblang bahwa semasa hidupnya, Sibaroar ini memiliki tujuh orang anak yang terdiri dari enam orang laki-laki dan seorang Perempuan.

"Anak pertama bernama Sutan Iskandar (mengambil nama dari opungnya yang bernama Iskandar Muda) dan menjadi Raja di Huta Siantar. Anak kedua seorang wanita satu-satunya bernama Suri Lindung Bulan dan menjadi Permaisuri Raja Tambusai yaitu Tuanku Syah Alam. Anak ketiga bernama Sutan Katimbang di Langit menjadi Raja di Huta Partibi. Anak keempat bernama Sutan Batara Guru dan menjadi Raja di Huta Puli Tambangan. Anak kelima bernama Sutan di Atas Langit dan menjadi Raja di Huta Gunung Baringin. Anak keenam bernama Sutan Tua Raja Solut dan menjadi Raja di Batang Samo. Anak ketujuh yang paling kecil bernama Namora Gompar Sutan Sinomba Sinoru dan menjadi Raja di Sungai Garingging," jelas Edy Nasution.

Lanjut Edy Nasution, karena Sibaroar meninggal dunia secara mendadak, maka oleh para pembesar kerapatan Negeri Padang Garugur diadakanlah rapat untuk memutuskan siapa yang akan diangkat sebagai penggantinya. Hasil rapat disepakati, bahwa yang ditunjuk menggantikan Sibaroar adalah anak keenamnya Sutan Tua Raja Solut, yang saat itu baru berusia empat belas tahun. Namun karena Sutan Tua Raja Solut ini belum dewasa, maka sementara menunggu dia dewasa, disepakati pula bahwa untuk yang mengendalikan Kerajaan Padang Garugur ini langsung diambil alih dan di pegang oleh para Kerapatan Negeri.

"Rupanya keputusan ini diprotes oleh anak tertua Sibaroar yang bernama Sutan Iskandar. Dia protes karena, seharusnya sebagai anak tertua dialah yang menggantikan Sibaroar. Padahal ketika itu dia sudah menjadi Raja di Kerajaan Siantar. Lalu mengapa dia ingin mengambil alih Kerajaan Garugur, karena Kerajaan Siantar yang dikuasainya akan dia serahkan kepada anaknya," ujar Edy Nasution.

Karena tidak disetujui dan ditentang oleh para pejabat Kerapatan Negeri, Sutan Iskandar menyiapkan pasukannya lalu menyerang Kerajaan Padang Garugur, meskipun masih dalam suasana duka. Ketika itu, Kerajaan Padang Garugur berada dalam keadaan tidak siap. Melihat terjadinya kekacauan yang tak berkesudahan, maka Sutan Perempuan pun memutuskan untuk keluar dari Kerjaan Padang Gerugur guna menyelamatkan kedua cucunya keenam Sutan Tua Raja Salut dan ketujuh Sutan Namora Raja Gompar.

"Dalam keadaan kebingungan dan belum tahu mau kemana arah dan tujuannya itulah, banyak para pembesar negeri yang merasa bersimpati lalu ikut bergabung. Jumlah mereka yang bergabung saat itu sebanyak 47 Kepala Keluarga (KK) terdiri dari 5 Marga. Dari 47 KK itu, yang tercatat dalam Tarombo, diantaranya Menteri Jairo Dilangit, Japorkas adiknya Nai Romban Golang, Orang Kayo Bale (dia ini berasal dari Marga Siregar), Bendahara dari Marga Daulay, Jabomi dari Marga Hasibuan, Penghulu Besar berasal dari Marga Lubis, Bentaro Lelo dari Marga Najanginon," ungkap Edy Nasution.

Setelah mendapatkan berbagai saran dan masukan dari para pembesar negeri yang ikut dalam rombongan itu, maka mereka mensepakati untuk bergerak menuju ke tempat cucunya yang perempuan, yaitu Permaisuri Raja Tambusai yang ketika itu dijabat oleh Tuanku Syah Alam. Usai menempuh perjalanan yang cukup panjang dengan berbagai pengalaman yang ditemui (sebenarnya sangat banyak kisah yang tertuang dalam Tarombo yang menceritakan suka duka rombongan Sutan Perempuan selama perjalanan tersebut, namun tidak diceritakan disini).

"Kemudian tibalah mereka di perbatasan wilayah Kerajaan Tambusai, dan diutuslah beberapa Caraka untuk menemui Raja Tambusai sambil meminta suaka politik (perlindungan). Lalu oleh Raja Tambusai, rombongan ini disetujui untuk bisa tinggal di daerah pinggiran, yaitu daerah 'Pisang Kolot'. Adapun yang boleh mereka lakukan disana, hanya bertani dan tidak boleh melakukan kegiatan yang berbau politik. Sebenarnya kalau Sutan Perempuan ini datang hanya bertiga dengan dua cucunya saja, dan mereka diterima dikerajaan serta boleh tinggal di Tambusai," kata Edy Nasution lagi.

Ketika rombongan Sutan Perempuan ini tiba dipinggiran daerah Tambusai, diwilayah Rambah ini sebenarnya sudah terdapat beberapa kerajaan yang memiliki wilayah kekuasaan. Kerajaan tersebut, diantaranya Kerajaan Tambusai (ibu negerinya Tambusai), Kerajaan Rambah (ibu negerinya Rambah), Kerajaan Kepenuhan (ibu negerinya Kota Tengah), Kerajaan Rokan (ibu negerinya Pendalian IV Koto), dan Kerajaan Kunto Darussalam (ibu negerinya Kota Intan).

"Hanya saja ibu negeri kerajaan-kerajaan tersebut pada masa itu belum tersusun seperti sekarang ini. Malahan, seperti Kepenuhan dan Koto Tengah, kedudukan ibu negerinya tidak persis seperti yang ada sekarang, melainkan berada agak didaerah hilirnya lagi, karena ibu negeri kerajaan itu sering berpindah-pindah dari satu kedudukan ke kedudukan lainnya," sambung Edy Nasution.

Rombongan Sutan Perempuan menetap di Pisang Kolot selama kurang lebih 32 tahun, yaitu mulai sekitar tahun 1418-1450 Masehi. Dan selama itu pula para pengikutnya tetap setia kepada Sutan Perempuan. Sutan Perempuan yang mulai resah karena setelah selama kurang lebih 32 tahun kedua cucu yang dibawanya termasuk rombongan yang mengikutinya belum memiliki daerah kekuasaan sendiri. Ditambah, Sutan Perempuan merasa usianya sudah semakin tua.

"Dalam kebingungan itulah, rupanya Allah SWT mentakdirkan Raja Rambah meninggal dunia secara mendadak, dan kebetulan anak dari Raja Rambah ini masih kecil untuk duduk sebagai Raja menggantikan posisi ayahnya, karena baru berusia dua tahun. Hubungan dan komunikasi antara Raja Tambusai dan Raja Rambah saat itu sangat baik, karena telah banyak terjadi pertalian darah yang disebabkan perkawinan. Akhirnya, sambil menunggu Putra Mahkota berusia dewasa, maka diambilah keputusan bahwa kendali Kerajaan Rambah akan dirangkap oleh Raja Tambusai," ucap Edy Nasution menceritakan isi dalam Tarombo.

Rupanya disinilah kesempatan itu muncul. Kerajaan Rambah yang wilayahnya sangat luas, sebelah baratnya terdapat banyak daerah yang masih kosong dan daerah itu dikuasai oleh orang-orang Lubu, yang pekerjaannya hanya selalu mengacau dan membuat gaduh. Mengingat jumlah orang Lubu ini cukup banyak, maka Raja Rambah yang ditrangkap Raja tambusai pun merasa kewalahan untuk mengusirnya. Akhirnya setelah para pembesar Raja Rambah dan Raja Tambusai mengadakan rapat, maka disepakatilah untuk melibatkan orang-orang dari Sutan Perempuan yang sudah bermukim cukup lama di wilayah Tambusai untuk mengusir orang-orang Lubu ini. Dengan tekad dan semangat yang kuat, karena ingin memiliki wilayah kekuasaan sendiri, maka kelompok Sutan Perempuan inipun berhasil mengusir orang Lubu.

"Akhirnya rombongan Sutan Perempuan ini berhasil menjadikan daerah Rambah itu menjadi daerah Mandailing dan menguasainya. Setelah menguasai daerah itu, maka oleh Sutan Perempuan diangkatlah cucunya yang nomor enam, yaitu Raja Salut atau disebut juga Sutan Tua menjadi Raja di Batang Samo. Sedangkan cucunya yang nomor tujuh Raja Gompar bergelar Sutan Sinomba Sinoru diangkat pula oleh Sutan Perempuan menjadi Raja di Sungai Garingging setelah negeri itu dibebaskan dari orang-orang Lubu," jelas Edy Nasution.

Walaupun kedua cucunya sudah mendapatkan wilayah kekuasaan. Yang satu menjadi Raja di batang Samo dan yang satunya lagi menjadi Raja di Sungai Garingging, Sutan Perempuan tetap memimpin Kerajaan di Kaiti. Sampailah pada suatu saat Sutan Perempuan merasa perlu untuk mengumpulkan seluruh petinggi-petinggi kerajaan termasuk kedua cucunya Raja Solut Sutan Tua dan Raja Gompar Sutan Namora Raja atau Sutan Sinomba Sinoru beserta seluruh anak cucu dan keturunannya.

"Singkat cerita dari cucunya yang nomor enam dan nomor tujuh inilah berkembangnya Marga Nasution yang berada di Rambah dan sekitarnya. Sebagai gambaran, seperti yang tadi sudah disampaikan sebelumnya, bahwa keturunan Sibaroar ini awalnya berjumlah 7 orang, terdiri dari 6 Laki-laki dan 1 orang Perempuan. Pertama yang bernama Sutan Iskandar menjadi Raja di Huta Siantar, Penyabungan. Kedua satu-satunya wanita yang bernama Suri Lindung Bulan menjadi Permaisuri Raja Tambusai (Permaisuri Tuanku Syah Alam). Ketiga Sutan Katimbang Dilangit jadi Raja Huta Partibi. Keempat Sutan Batara Guru jadi raja di Huta Puli Tambangan. Kelima Sutan di atas langit jadi Raja di Huta Gunung Baringin. Keenam Sutan Tua Raja Solut jadi Raja di Batang Samo. Ketujuh Namora Gompar Sutan Sinomba Sinoru jadi Raja di Sungai Garingging," ungkap Edy Nasution.

Adapun cucu-cucunya yang sempat Sutan Perempuan dudukkan menjadi raja hanya dari keturunannya yang berada di Rambah. Sedangkan untuk keempat anaknya yang berada di Tapanuli berkembang biak di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sementara, untuk para cucu yang berkembang di Rambah, diantaranya Sutan Nalobi (Raja di Huta Rimboru), Sutan Kumala Bulan (Raja Manaming), Sutan Mangamar (Raja di Batang Samo), Tangun (Raja di Tangun), Si Painan (Raja di Sungai Pinang), Bongsu (Raja di Sigatal), Tuah Sutan Kumala Gunung Jati (Raja di Kaiti), dan Raja Dewa hanya diberi tugas jaga rumah adat dan menjaga barang-barang pusaka di Kaiti, karena yang satu ini agak kurang cerdas dan memiliki kekurangan makanya tidak diberi kekuasaan.

Setelah seluruh anak dan cucu Sutan Perempuan mendapatkan wilayah kekuasaan, Andung Jati Boru Namora atau Sutan Perempuan yang sudah mulai tua meminta anak dan cucunya termasuk para pembesar masing-masing kerajaan yang berasal dari keturunan marga lainnya yang turut dalam rombongan Sutan Perempuan ketika berpindah dari Kerajaan Padang Garugur hingga ke Rambah untuk ikut berkumpul. Dua minggu lamanya barulah semuanya bisa berkumpul dan lokasi tempat berkumpul berada di Kaiti.

Disitulah Sutan Perempuan berpidato dihadapan seluruh keturunannya termasuk keturunan dari pembesar-pembesar Raja dari marga lainnya yang ikut dalam rombongan dulu, adapun isi pidatonya yang tertulis dalam Tarombo, antara lain:

Hai cucu-cucuku yang kusayangi. Kedudukan kalian sudah kuat. Kerajaan sudah pada berdiri, dan kembangkanlah ini. Ekonomi sudah pulih dimana sumber-sumber hidup sudah teratur. Pemerintah sudah rapi dan berlembaga. Adat istiadat sudah teratur, tinggal mengembangkan dan pelihara sebaik-baiknya. Lembaga adat Napitu Huta sudah tersusun. Budaya terjaga dengan baik dan kembangkanlah sebaik-baiknya. Lestarikan pertuturan, artinya hormati yang tua dan sayangi yang muda. Pelihara persatuan yang kokoh, tanpa persatuan betapa kalian bisa dengan mudah dihalangi oleh musuh-musuh yang iri hati pada kalian. Induk-induk suku telah menggariskan kebijaksanaan pemerintah, mengatur kemaslahatan rakyatnya, persatuan telah terpelihara dan sumber kekayaan cukup banyak. Jangan merusak dan jangan berselisih.

Patuhlah kepada Raja, patuh kepada Induk Adat, patuh kepada Lembaga Adat, sayangi anak istri dan perkuat rasa se-iya sekata antar kalian semua. Fakir miskin ditolong, anak yatim disayangi dan dipelihara, janda dan orangtua dikasihi dan dibela, jangan ada yang tidak makan di negeri kalian, orang-orang lemah dilindungi dan Raja-raja tegakkan keadilan. Bila ada salah satu negeri kalian diserang berarti semua kalian di serang dan bebaskan semua gangguan itu.

Kalian semua anak cucuku sudah hadir disini dan persaksikanlah bahwa, "Saya menganggap tugas dan kewajiban saya sudah akan berakhir, maka sekarang dengarkan baik-baik. Aku ini berasal dari orang halus yang menjelma menjadi manusia dan tugas sebagai manusia sudah ku laksanakan. Aku menganggap semuanya sudah selesai, kemudian aku akan kembali kepada orang halus dan kembali berfungsi sebagai orang halus. Bila suatu waktu kalian ditimpa bahaya, maka tempatku berpijak ini (sambil dia menghentakkan kakinya ke tanah), ziarahilah tempatku ini, mudah-mudahan yang maha kuasa Debata dapat membantu kalian dan aku dengan kalian akan kontak."

Bagaimanapun aku harus pergi, namun pribadiku tetap dekat kalian. Lalu tanpa ada seorangpun yang tahu kemana perginya, tiba-tiba Sutan Perempuan pun menghilang dari pandangan. Dan ditempat itulah kini ada semacam kuburannya.

Inilah yang tertulis dalam Tarombo yang diceritakan Edy Nasution, bagi seluruh Marga Nasution yang sangat dibanggakannya, itulah versi Nasution Rambah yang bisa disampaikannya. Kalaupun ada diantara kita yang tidak meyakini versi ini, tentu bukanlah masalah. Karena ini hanya berdasarkan fakta sejarah yang kebetulan tercatat secara gamblang dalam sebuah Tarombo, yang hingga hari ini masih dipegang Edy Nasution dan tersimpan dengan baik.

"Tarombo ini aslinya tercatat dalam tulisan Batak, namun sekitar Tahun 1935, setelah sempat dialih bahasakan dari tulisan berbahasa batak ke Bahasa Indonesia oleh Pak Tuo kami, yaitu Pak Tuo Amin Nasution bersama ayahnya. Setelah itu musibah pun datang, antara tahun 1942-1945, Jepang membuat kebijakan, semua buku-buku yang berbau agama agar dibakar dan dimusnahkan. Kalau ketahuan ada yang masih menyimpan, maka akan mendapat hukuman yang seberat-beratnya. Dikarenakan rasa takut yang begitu mencekam pada waktu itu ayah dari Pak Tuo Amin ini tidak sempat lagi memilah-milah buku mana saja yang termasuk dalam kategori yang dilarang oleh Jepang," kata Edy Nasution.

Sampailah akhirnya Tarombo yang ditulis dalam tulisan Batak itu pun ikut terbakar. Akhirnya, versi manapun yang paling benar, hanya Allah SWT yang lebih tahu segalanya.

"Selanjutnya dalam kesempatan yang baik ini saya mengajak, mari kita tinggalkan segala perbedaan, kita satukan persamaan, dan kita rajut persaudaraan didalam keluarga besar Nasution ini. Biarpun saya tak pandai berbahasa Mandailing, tapi saya sangat bangga menyandang Marga Nasution, dan kebanggaan ini tentu juga menjadi kebanggaan ayah saya, Almarhum H Achmad Natar Nasution. Saya selalu berdoa semoga Beliau-beliau orang tua kami yang telah sangat berjasa dalam perjalanan panjang menjaga nama besar marga Nasution ini, selalu berada dalam keridoan Allah SWT, dan Allah SWT ampuni segala dosa-dosanya. Saya mohon maaf atas segala kekurangan," ungkap Edy Nasution. ***