BANDA ACEH - Mahkamah Agung (MA) dalam amar putusannya menolak gugatan yang dilayangkan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terkait penerapan Qanun Jianayat di Aceh.

Informasi penolakan itu diketahui Serambi dari Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Iskandar Usman Al-Farlaky, Minggu (17/7/2016) kemarin siang. "Mahkamah Agung menolak gugatan mereka. Kami menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya, menurut kami ini merupakan langkah hukum yang sangat tepat," kata Iskandar.

Berdasarkan salinan putusan MA yang ia terima, dikatakan, gugatan itu diajukan Anggara dan Wahyu Wagiman dari Lembaga ICJR (Institute For Criminal Justice Reform) dan Puspa Dewy selaku Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Para penggugat beralasan, qanun yang telah disahkan oleh DPRA itu melanggar KUHP dan UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan UU Nomor 12 tahun 2005 Konvenan International soal Hak Sipil dan Politik.

Selanjutnya (para penggugat) juga keberatan terhadap Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, dimana di dalamnya ada pasal yang mencantumkan mengenai hukuman cambuk.

"Jauh- jauh hari memang kita sudah menyampaikan, supaya peraturan daerah (qanun) yang mengatur soal kekhususan dan syariat Islam jangan coba-coba diusik oleh orang luar Aceh. Kami juga sudah sampaikan agar gugatan tersebut ditolak melalui sejumlah media," ucap Iskandar.

Alasan lain, lanjut mantan aktivis ini, para penggugat dalam gugatannya juga mengklaim bahwa Qanun Jinayat bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Iskandar menilai, alasan yang mereka sampaikan sungguh tidak linier dan terkesan mencari celah untuk melemahkan kekhususan yang telah diberikan kepada Aceh sebagai provinsi yang memiliki kewenangan khusus.

"Mengenai tata cara pembentukan perda atau qanun juga sudah melalui tahapan yang sesuai. Maka tidak tepat sejumlah argumen pembenar yang disampaikan mereka. Tidak ada diskriminasi dan merendahkan martabat kelompok tertentu. Bahkan sebaliknya, pengaturan dengan dengan sistem syariah akan mengangkat harkat dan martabat seseorang," ungkap Iskandar.

Politisi Partai Aceh (PA) ini meyebutkan, dalam amar putusan MA menyampaikan beberapa pertimbangan hukum, salah satunya adalah dinyatakan tidak dapat diterima permohonan keberatan hak uji materil dari pemohon. Disebutkan juga, pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara, dan terhadap subtansi permohonan a quo (perkara yang diperselisihkan) tidak perlu dipertimbangkan lagi.

Ia menambahkan, Hakim MA yang menanda tangani putusan Mahkamah Agung, yakni Yulius, Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Irfan Fachruddin; Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, M Hary Djatmiko dan beberapa anggota majelis lainnya.

"Diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 1 Desember 2015. Kami berharap dukungan dan doa masyarakat Aceh agar bisa memberikan masukan sehingga apa yang kita kerjakan berdampak guna bagi masyarakat luas," demikian Iskandar Usman.