''Mukim dan menyewa rumah petak di Kampung Terendam, Sebanga, Duri sejak tahun 1995 hingga awal tahun 2008 bukanlah masa yang pendek bagi saya. Banyak suka duka dan romantika hidup yang saya alami selama tinggal di sana. Meski sangat sulit mendapatkan air bersih, masyarakatnya yang ramah dan berjiwasosial tinggi membuat saya mampu bertahan di sana selama satu dasawarsa.''.

RUMAH petak yang saya kontrak lumayan besar. Punya dua kamar, satu ruang tamu, sebuah ruang keluarga, dapur, sumur serta tempat jemuran kain. Tapi, meski rumahnya bagus dan besar untuk ukuran sebuah rumah petak, sayang sekali sumurnya tak bermata air. Paling-paling hanya air rembesan yang masuk. Warnanya pun kuning dan bau. Jangankan untuk memasak, untuk mandi dan mencuci pun tidak layak.

Untuk mengatasi kesulitan air itu, pemilik rumah sudah menyiapkan bak penyaringan kecil. Ukurannya sekitar 1x1/2x1/2 meter kubik. Lantaran lapisan penyaringannya kurang bagus, air yang dihasilkannya pun tidaklah jernih. Hanya bisa dipakai untuk mandi saja.

Kerepotan saya, juga warga Sebanga lain pada umumnya, semakin bertambah kala kemarau panjang. Volume air sumur menurun drastis. Tentu saja kepekatannya meningkat pula. Di tengah paceklik air seperti itu, tetesan hujan dari langit amatlah ditunggu-tunggu. Untuk menadah air hujan, tiap rumah di Sebanga pasti memiliki drum, minimal dua buah.

Meski kehadirannya sangat ditunggu-tunggu, air hujan tak bisa pula langsung ditampung tersebab masih kotor akibat kerak debu atap yang menebal selama kemarau. Sekali waktu hujan turun deras. Saking gembira, air dari talang air langsung saja saya gelontorkan ke dalam sumur hingga nyaris melimpah. Selama dua hari, air sumur itu jernih sangat. Namun hari ketiga, airnya berubah menjadi hitam. Baunya pun menyengat. Mungkin karena kerak atap yang bereaksi. Saya tak peduli. Yang jelas, beberapa hari kemudian barulah airnya ''pulih kembali'' menjadi kuning seperti sediakala.

Untuk keperluan memasak dan mencuci, sama seperti warga Sebanga lainnya, saya terpaksa menjemput air ke perumahan karyawan CPI di komplek Sinabung atau Singgalang. Dari rumah, jaraknya tak terlalu jauh. Paling 400 sampai 500 meter saja. Biasanya saya pakai sepeda motor saja. Satu jerigen ditaruh di depan, satu lagi diikat di jok belakang. Warga lain rata-rata memiliki gerobak dorong, khusus dipergunakan untuk menjemput air. Daya muatnya lebih banyak. Bisa tiga atau empat jerigen sekali tarik.

Karena ada kesibukan khusus atau kepepet waktu, tak setiap hari saya bisa menjemput air ke komplek perumahan karyawan CPI. Karena kebutuhan terhadap air tak bisa tidak harus dipenuhi setiap hari, terpaksalah beli dari warga tetangga yang menyambi membantu warga yang membutuhkan air bersih. Satu jerigen harganya Rp 2.000. Setiap beli bisa enam sampai delapan jerigen untuk kebutuhan selama dua hari.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/31082014/2jpg-1321.jpgKebijakan CPI yang tidak melarang warga mengambil air dari rumah karyawannya sangat membantu kami warga Sebanga selama beberapa tahun.

Lewat program pengembangan masyarakatnya, beberapa tahun lewat CPI juga pernah pula meluncurkan program bantuan air bersih untuk warga yang mengalami krisis air di saat kemarau panjang. Saya tak ingat persis tahunnya, namun yang jelas kala itu sebuah mobil tanki CPI penuh berisi air bersih diparkir di Gang Masjid Istiqamah, dekat rumah tinggal saya di Sebanga. Warga pun berkerumun membawa jerigen. Warga yang dekat menadahkan drum untuk menampung bantuan air dari CPI itu.

Keprihatinan CPI terhadap krisis air yang melanda Kota Duri telah ditunjukkan pula lewat bantuan pembangunan sebuah instalasi pengolahan air bersih untuk PDAM Duri di Jalan Babussalam Ujung tahun 1995 silam. Air bakunya pun dipasok CPI dari waduk reservoar mereka di Desa Balai Makam. Hingga kini air baku tersebut masih menjadi andalan PDAM Duri. Pada 17 Agustus 1995, fasilitas PDAM Duri bantuan CPI itu mulai mengalirkan air. Saya masih ingat, seremonial pengaliran perdananya berlangsung di Mushala Al-Furqan (kini masjid) di Jalan Karet Duri. Bupati Bengkalis dan pimpinan CPI hadir kala itu. Usai mencicipi air bersih di kran musala tersebut, anggota DPRD Bengkalis kala itu, Pak Anwar Malik berteriak, ''Merdeka!''.

Secara bertahap, jaringan PDAM pun menjalari rumah penduduk setempat. Sekitar tahun 2005, fasilitas PAM ke rumah kontrakan saya dipasang. Begitu kran dibuka, air bersih dan jernih pun memancar dari fasilitas PDAM bantuan CPI itu. Dua anak saya yang kala itu masih kecil dan lahir di rumah kontrakan tersebut bukan main senangnya bermain air.Saya dan istri yang menikah di rumah sewa tersebut di penghujung tahun 1998 lewat ikut bergembira pula karenanya. Kehadiran air PDAM itu disambut warga Sebanga penuh sukacita.

Walau sewa rumah terpaksa dinaikkan sejak air PDAM masuk, kami sekeluarga tak terlalu mempermasalahkannya. Pasalnya, beraneka ragam kerepotan kami akibat krisis air bersih berkepanjangan selama beberapa tahun menjadi terobati. Saya tak perlu lagi membeli air atau menjemput air ke komplek perumahan CPI seperti pernah saya dan warga Sebanga alami selama bertahun-tahun. Saya pun tak perlu lagi mandi air kuning dari sumur bau saat terdesak hendak berangkat kerja.Istri pun tak lagi mengomel kala persediaan air bersih di rumah habis. Selamat tinggal air kuning dan bau!

Kini, saya dan keluarga tinggal di sebuah ruko kontrakan di Jalan Kayangan dekat Masjid Ar-Raudhah Duri. Meski tidak memanfaatkan air PAM, saya dan istri beserta anak-anak bisa menikmati air bersih dan layak. Air tanah di kawasan Jalan Kayangan bagus, tidak seperti di tempat tinggal kami di Sebanga dulu. Walau begitu, kami tak akan pernah lupa betapa sulitnya mendapatkan air bersih di Sebanga sebelum jaringan pipa PDAM Duri sampai ke sana. (adv)

Program Air Bersih CPI

- CPI, dengan menggandeng beberapa perguruan tinggi, pernah melakukan studi hidrogeologi yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut memang tidak memiliki lapisan air. Sebagian masyarakat Duri, terutama di daerah Sebanga, memenuhi kebutuhan air bersih dengan menampung air hujan.

- Pada 1995, CPI membangun fasilitas pengolahan air, sedangkan pemerintah daerah menyediakan lahan dan jaringan pipa. Fasilitas yang dilengkapi ruang kontrol, laboratorium, pompa, fasilitas pengolah limbah, genset, dan pasokan air baku itu memiliki debit rata-rata 46.000 barel/hari atau sekitar lebih dari 7.300 meter kubik (7,3 juta liter) per hari.. Volume tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan 7.300 keluarga atau 36.500 orang (dengan asumsi kebutuhan 200 liter/orang/hari).

- CPI juga membantu pelatihan agar operasional fasilitas tersebut memenuhi standar mutu air minum nasional maupun WHO. Fasilitas ini secara resmi diserahkan kepada Pemkab Bengkalis pada akhir 1995. ***